Senin, 25 Agustus 2008

Mahasiswa Di'SUAP’???
OGAH LA YAU..


Tentunya masih segar di ingatan kita, beberapa aksi demo yang dilakukan mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh nusantara yang menolak "kenaikan harga BBM" beberapa waktu lalu di mana 'fenomena demo' tersebut masih berlangsung hingga tulisan ini dibuat. Namun, ada yang tersisa dari aksi demo tersebut yakni diberitakan berbagai media massa adanya "pelanggaran HAM" dalam aksi demo yang dilakukan mahasiswa UNAS (Universitas Nasional) oleh Polri (dalam hal ini saya mengutip beberapa sumber dari berbagai media massa). Lebih jauh mengenai kasus "pelanggaran HAM" ini Anda bisa mengikuti perkembangannya di semua media massa (elektronik & cetak).
"Kenaikan harga BBM" ini bukan merupakan kali pertama yang terjadi selama duet SBY-JK duduk di tampuk kekuasaan Indonesia periode 2005-2009 alias RI 1 & RI 2 alias orang no. wahid & no. loro di Indonesia, dan alias-alias lainnya.. (Ingat!!! Orang no.1 & 2 di Indonesia tidak mesti orang terkaya di Indonesia, karena ada versi lain tentang "Siapa-siapa orang terkaya di Indonesia" dan ANDA-TAHU-SIAPA??? <>).
"Kenaikan harga BBM" ini menuai protes dari banyak pihak, tidak hanya kelas menengah ke bawah saja (yang memang sangat merasakan sekali dampak dari kenaikan BBM ini), tetapi juga beberapa politisi, mahasiswa dengan 'aksi demo'nya, LSM-LSM, dan banyak lagi. "Kenaikan harga BBM" ini tentunya berakibat kepada harga-harga kebutuhan pokok, baru diisukan "BBM akan naik" saja, sejumlah pedagang sudah menaikkan harga barang-barang kebutuhan pokok. Hal ini membuat resah masyarakat, krisis moneter yang berkepanjangan juga belum usai (padahal kita memiliki banyak pakar ekonomi atau ekonom sekaligus merangkap politisi yang tentunya dengan ilmu dan kelihaian mereka pastinya mereka bisa mengeluarkan solusi-solusi cerdas (bukan solusi instan) agar bangsa ini bisa keluar dari krisis moneter dan tidak membebani bayi yang baru lahir ataupun setiap 'kepala' baik yang belum maupun sudah beranak-pinak mendiami tanah Indonesia dengan beban hutang sekitar "Rp. 10.000.000". Kalau saya tahu ketika saya lahir sudah punya hutang dan kalau bisa memilih, maka saya akan minta ibu saya supaya "jangan melahirkan saya di Indonesia".(pendapat ekstrem dan "ogah hidup susah"..)
Saya yakin banyak orang Indonesia yang "titel" nya tidak hanya satu, tapi sekali lagi dan mungkin berkali-kali pertanyaan yang saya ajukan, "mengapa, mengapa, dan mengapa???". Mengapa dengan banyaknya SDM (Sumber Daya Manusia) yang sekian ratus juta jumlahnya yang tentu di antaranya banyak manusia-manusia tadi memiliki "titel" yang panjang dari berbagai disiplin ilmu belum mampu menyelesaikan krisis moneter di Indonesia ini. Bolehlah kita acungkan jempol untuk pemerintah karena berhasil 'mendepak' IMF dari bumi pertiwi, namun kesejahteraan bersama (common walfare) masih belum dirasakan semua lapisan. O.K.-lah mudah saja dengan mengucap: "Semua butuh waktu tidak instan laiknya semudah membalik telapak tangan, hanya dengan mengucap mantra "bim salabim", maka Indonesia langsung bisa makmur." Masih kita nanti pemimpin yang mampu membawa negara ini ke arah yang jauh lebih baik.
Kita tinggalkan dulu berbagai "pendapat, harapan, ataupun kegelisahan" pribadi tadi, sekarang kita fokuskan kembali tentang "Kenaikan harga BBM". "Sudah jatuh tertimpa tangga pula", mungkin itulah kata pepatah yang tepat atas yang dialami rakyat negeri ini sekarang. Belum juga hutang yang lama dilunasi, hutang baru akibat "BBM naik" dan "harga sembako naik" yang tidak dibarengi dengan "Kenaikan Upah" pegawai, buruh, atau pekerja-pekerja lainnya semakin lama semakin menimbun dan bertanya-tanya, "pakai apa saya untuk membiayai hidup saya kelak, kalau jaminan kesehatan, makan, dan lain sebagainya tak kunjung naik? Sudah begitu kerja semakin diforsir agar produksi semakin meningkat meskipun pesimis akan daya beli masyarakat yang juga naik??". (Jatuh-jatuhnya eksploitasi tenaga kerja dong ??? Saya bebaskan alam pemikiran Anda untuk berspekulasi tentang hal ini).
Itu baru yang dikatakan pegawai, lantas bagaimana yang dikatakan "ibu-ibu" atau "bapak-bapak" kita mengenai hal ini?? "Waduh.. bayar SPP belum, bayar uang kuliah anak belum, bayar cicilan rumah;mobil;motor juga belum, belum lagi kirim uang ke kampung buat orang tua (kalau yang nenek-kakeknya di kampung, tapi kalau nenek-kakeknya di kota tinggal ucapkan saja yang tinggal di kota); ditambah bayar les anak-anak; kegiatan ekskul inilah-itulah juga belum. Aduh bayar arisan keluarga juga belum ditambah arisan ibu-ibu se-RT. Hmm,, apa lagi y?? Oh iya, bayar pembantu; supir; baby sitter; tukang kebun; tukang cuci baju + gosok juga belum, belanja bulanan juga belum, besok ada undangan pernikahan tetangga sebelah, besoknya lagi ada undangan khitanan adik sepupu, terus tetangga di blok sebelah baru melahikan lagi. Aduuh.. banyak banget sih pengeluarannya ????!!!!" (he,,he,,he,, itu baru yang dikatakan para ibu).
Gimana kalau yang dibilang sama sopir angkutan yang sekarang lagi pada pusing menunggu keputusan Pemda setempat ataupun walikota setempat tentang "Naik atau Tidak" nya tarif angkutan umum. "Bah!!! Macam mana ini semua harga-harga pada naik, majikan minta tambah setoran pula. Anak-istriku makan apa nanti?? Batu?? Dikira kami bukan manusia?? Penumpang makin sepi pula. Sudah pada punya kendaraan pribadi, segala macam motor lah, mobil mirip-mirip mini bus lah, rupa-rupa lah bentuk dan macamnya. Aku jadi pusing. Naik atau enggak ya?? Kalau naik pelangganku pada kabur, kalau enggak naik, aku setoran pake apa? Belum pungli dan makanku. Bah,Bah,Bah..". (Maaf ilustrasi kata-katanya agak kasar).
Nah, sekarang gimana kalau yang dikatakan kaum terpelajar, terutama mahasiswa, "Hm,, naik lagi rupanya harga BBM. Yah, meskipun itu hak prerogratif dan memang sah-sah saja presiden melakukan hal tersebut karena tidak melanggar konstitusi. Namun, mengapa pemerintah tidak memutuskan solusi yang populis? Apa pemerintah tidak menimbang-nimbang berbagai situasi yang tengah dihadapi masyarakat dan akibat-akibat yang ditimbulkan setelah harga BBM naik?? Tidak adakah jalan keluar lainnya yang bisa dikatakan tidak semakin menambah rakyat miskin dan pengangguran akibat di PHK? Sebetulnya tidak bisakah pemerintah tidak menyesuaikan harga minyak dalam negeri dengan harga minyak dunia yang sempat mencapai angka 135 dolar AS per barel?? Bagaimana BUMN dalam hal ini bertindak dan semakin menggiatkan tingkat produksi minyak dalam negeri yang tidak hanya 900.000 barel per hari yang lantas setelah itu mengekspornya bukan malah mendistribusikannya ke dalam negeri sehingga rakyat tidak perlu repot-repot membeli minyak (BBM) yang mayoritas merupakan minyak impor dan bukan minyak milik sendiri. Bagaimana pemerintah bisa mengekspor minyak sedangkan minyak dalam negeri saja stoknya terbatas bahkan sampai antri berjam-jam atau pulang dan kembali lagi ke SPBU untuk mendapatkan minyak?? Siapa yang sebetulnya bertanggung jawab dalam hal ini?? Menperindag? Menteri ESDM? BUMN? Menteri ekspor-impor? Siapa bu, pak, mba, mas, dek, om, tante?? Siapa?? Rumit, rumit. Bukan untuk menjustifikasi "Siapa salah bertindak atas apa" hanya ingin meluruskan dan mengembalikan semuanya ke koridor masing-masing yang telah diatur. Bukan bermaksud bertindak instan tapi lebih kepada ingin menyuarakan apa yang dirasa dan dianggap "tidak beres" dengan cara demo (Menggunakan cara yang damai atau anarkis, itu tergantung masing-masing pihak. Lebih baik ya yang tidak membuat rusuh atau merusak fasilitas umum), serta sebagai bentuk apresiasi menolak kenaikan BBM. Okelah kenaikan sampai 30% mungkin lebih rendah dibanding kenaikan harga BBM yang ada di negara-negara lainnya yang menembus lebih dari 30% tapi betulkah pemerintah memang tidak bisa mengutak-atik lagi angka-angka itu? Ini memang sangat sulit. Belum lagi ada wacana yang mengatakan Indonesia akan keluar dari OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries), karena tidak sanggup memenuhi kuota yang menjadi 'jatah' Indonesia. Tapi nampaknya wacana ini sudah agak tenggelam.".. (NB: Ilustrasi ucapan ini berasal dari penulis yang tidak melakukan 'aksi turun ke jalan' melainkan menjadi pengamat dan kritikus sekaligus komentator yang buta kondisi sesungguhnya yang bersenjatakan teknologi masa kini (di depan monitor). Mohon ralat atas kata-kata yang tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya).
Melihat aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa ini mungkin membuat kelimpungan pemerintah, karena aksi-aksi ini tidak sekedar orasi melainkan melakukan 'pemblokiran jalan-jalan' yang pada malam hari ini (entah dimulai dari jam berapa, tapi dilakukan pada 28 Mei 2008) yang dilakukan oleh mahasiswa Univ. Atma Jaya dan sebelumnya aksi serupa juga dilakukan mahasiswa dari UKI. Sehingga muncullah berita baru terkait "pemberian bantuan sebesar Rp. 500.000 kepada 400.000 mahasiswa tidak mampu dari seluruh perguruan tinggi (PTN & PTS (berjumlah sekitar 2700-an) se-Indonesia per-semesternya. Penulis berharap hal ini bukan aksi temporer pemerintah untuk meredam 'demo' yang seiring berganti hari semakin berganti pula mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang berunjuk rasa atas rasa solidaritas terhadap masyarakat. Sehingga muncul 'kata-kata' yang menggelitik penulis untuk mengusung dan mempublikasikannya yakni "Mahasiswa Di'SUAP'? OGAH LA YAU ". Tindakan pemerintah ini secara implisit mengindikasikan bahwa pemerintah berusaha untuk menarik simpatik mahasiswa sehingga menghentikan aksi 'demo' yang tak kunjung 'mati' gemanya. Oleh karena itu, dalam rangka saling mengingatkan sesama mahasiswa, saya berusaha menyerukan supaya mahasiswa tidak terjebak dengan "iming-iming" tersebut. Kalau bukan untuk menarik hati mahasiswa apa lagi selain itu? Penulis belum menemukan indikasi lain selain itu. Kalau memang seandainya ini adalah itikad yang 'benar-benar baik' dari pemerintah, mengapa setelah banyak aksi demo yang dilakukan oleh mahasiswa se-Indonesia dari berbagai daerah baru diberlakukan pemberian beasiswa ini? Mengapa tidak jauh-jauh hari sebelum BBM dinaikkan? Penuh 'tanda tanya' maksud di balik "Pemberian Beasiswa Untuk Mahasiswa" ini. Tindakan politik yang bagus oleh pemerintah dengan menggunakan soft power (dalam bentuk pemberian bantuan) terhadap mahasiswa. Siapa bisa membantu saya untuk menafsirkan tindakan pemerintah ini?

Jakarta, 28 Mei 2008..
Political Party


Sistem Partai yang cocok di Indonesia ini menurut saya yang lebih cocok adalah sistem dua partai, karena selain menghemat “ongkos”, sistem ini dapat memudahkan bagi masyarakat untuk memilih mana partai yang cocok untuk mengirimkan delegasinya untuk duduk di parlemen. Meskipun Indonesia negara yang berasaskan demokrasi tapi bukan berarti pula dengan mengatasnamakan demokrasi berbagai macam partai dapat muncul ke permukaan seperti jamur yang tumbuh pada musim hujan (itu merupakan analogi dari berbagai artikel yang pernah saya baca). Setiap sistem politik pasti kita akan menemukan sisi positif dan negatifnya. Oleh karena itu, sistem politik yang berlaku di suatu negara harus betul-betul diselaraskan dengan karakter negara masing-masing. Akan tetapi sampai di situ, terkadang sistem politik yang sedang dijalankan masih saja ada hambatan-hambatannya, baik dari golongan masyarakat, parpol, kelompok kepentingan, atau oknum-oknum lain yang ingin menjatuhkan pemerintah yang sedang berkuasa. Untuk menghindari atau pun meminimalisasi hambatan-hambatan ini, saya belum menemukan (membaca untuk mendapatkan jalan keluar) solusinya (mungkin karena masih banyak ketidaktahuan saya tentang hal ini).
Lalu seharusnya demokrasi yang bagaimana yang harus diimplementasikan di Indonesia. Teman saya menjawab,”Kalau kita mengikuti demokrasi yang dilakukan di Amerika itu tidak mungkin, karena Amerika sudah menjalankan sistem demokrasi bertahun-tahun lamanya. Sedangkan Indonesia yang bisa dianggap baru seumur jagung menganut sistem demokrasi masih tertatih-tatih dalam mengikuti perubahan secara revolusi sistem potik yang berlaku dari sistem politik yang dipenuhi dengan gaya diktator berubah menjadi sistem demokrasi (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat)”. Menurut saya, sistem multipartai yang dijalankan di Indonesia boleh-lah diberlakukan, akan tetapi setiap partai yang akan dibentuk seharusnya ditentukan persyaratan-persyaratan bagi suatu partai yang akan mengikuti pemilu. Misalnya saja, harus memiliki supporter sekian persen, kemudian latar belakang dibentuknya partai, kepentingan yang bagaimana yang akan dijadikan modal untuk partai itu agar mendapat suara, dll. Menurut dosen saya,”Seharusnya suatu partai itu berasaskan nasionalis, bukan berasaskan atas kesamaan ras, agama, maupun wilayah”. Pernah saya baca suatu artikel, kolomnya kecil di suatu media massa, saya juga lupa siapa yang mereportasikan, kurang lebih inti dari artikel itu begini: Ada partai (saya lupa namanya) yang terbentuk yang mengangkat isu lingkungan hidup agar mendapat dukungan dari masyarakat. Jika melihat isu yang dia angkat, sudah bagus ada hubungannya dengan masayarakat. Namun, perlu digaris bawahi pula, untuk apa partai itu dibentuk kalau hanya mengangkat isu lingkungan hidup, bagaimana kalau partai itu bertransformasi mungkin menjadi suatu kelompok yang peduli akan masalah-masalah linkungan hidup. Kalau begitu kelompok ini bisa bekerja sama dengan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), bukankah akan lebih menguntungkan bangsa ini pula? Lagi pula kalau kita mengesampingkan akan asas suatu partai itu seharusnya yang nasionalis (general atau umum atau bersifat mencakup sosial, agama, ras, dan budaya), maka kita akan terbentur dengan kpentingan-kepentingan dari kelompok lain, misalnya saja Partai Islam, partai ini identik dengan ”partai orang Islam”, toh kalau pun nanti partai ini yang terpilih untuk mendudukan delegasinya dalam pemerintahan pasti partai ini tentunya dan tidak bisa dihindari akan lebih mementingkan kepentingan golongannya (jarang sejarah parpol yang lebih mendahulukan kepentingan pendukungnya dari pada parpolnya setelah menjabat di parlemen). Negara Indonesia ini terdiri dari banyak macam suku, budaya, agama, dan latar belakang yang berbeda tidak akan mau menjalani keputusan yang timpang (dalam artian penetapan akan suatu keputusan yang diimplementasikan harus disesuaikan dengan kelompok kepentingan dalam hal ini Partai Islam tadi yang menang). Ini dikarenakan asas dari partai itu pada awal pembentukannya adalah kesamaan agama.
Lagi pula sisi negatif lainnya dari sistem multipartai adalah suara-suara yang akan dihasilkan pada saat mengkonversikan masing-masing kepentingan akan terhambat dikarenakan di parlemen, khususnya DPR akan sulit untuk memutuskan suatu kebijakan yang akan diambil. Karena seperti yang kita ketahui, yang duduk di DPR itu merupakan perwakilan dari berbagai parpol. Kemudian pada saat misalnya keputusan si A yang akan diambil, ada protes dari si B karena keputusan yang dibuat tidak sesuai dengan kepentingan parpolnya, belum lagi si C, si D, si E, dan seterusnya. Kalau Indonesia ingin menganut sistem multipartai seharusnya tidak banyak sampai melebihi kapasitas, contohnya saja pemilu tahun kemarin, kalau saya tidak salah ingat ada sekitar 48 partai. Boleh saja kita masih dalam perasaan euforia pascajatuhnya Soeharto, akan tetapi dalam hal ini kita juga jangan sampai melampaui batas. Misalnya partai yang dibentuk lima saja sudah cukup dan berasaskan nasionalis, bukan yang berasaskan SARA. Selain kita bisa menjalankan sistem multipartai, dengan keterwakilan dari lima parpol ini tidak akan mebuat DPR nantinya lama dalam mengambil suatu kebijakan karena suara-suara yang ada tidak terlalu memberatkan seperti yang 48 parpol tadi.
Mengapa di Indonesia ajaran komunis dilarang ? karena itu tidak dengan ideologi Pancasila kita. Hanya itu kah ? Saya rasa perlu ada kajian yang mendalam tentang pertanyaan ini. Apakah kita masih trauma akan kejadian G 30 S ? atau kah memang doktrin-doktrin yang sudah masuk di otak kita selama 32 tahun Soeharto menjabat disusupi dengan pemikiran-pemikiran bahwa PKI pada masa itu adalah musuh yang membahayakan bagi kesatuan NKRI ? lantas cerita mana yang patut kita percayai ? ada pihak lain pula yang mengatakan bahwa Soeharto dan kroni-kroninya-lah yang salah karena kejadian G 30 S ini merupakan rekayasa Soeharto dibantu oleh CIA. Padahal PKI tidak salah. Bisa jadi pula film G 30 S yang wajib ditonton oleh rakyat Indonesia, khususnya pelajar ini diputar selama masa jabatan Soeharto (akan tetapi pada tahun 1996, film ini tidak diputar kembali) untuk memberi kesan kepada masyarakat di Indonesia bahwa PKI adalah musuh negara dan pada waktu itu pula Soeharto yang memberantasnya bersama pasukan-pasukannya. Saya mengatahui hal ini dari internet dan say pun tidak tahu siapa yang sedang bermain di balik ini. Di internet sudah gencar-gencarnya situs yang berisi tentang kebangkitan ”kaum kiri” kemudian buku-buku yang muncul di toko-toko buku juga tidak kalah membldaknya yang berisi tentang Soeharto dan perjalannya atau apa-lah isinya saya belum membacanya. Ada sumber yang mengatakan bahwa buku itu diterbitkan oleh para pakar karena ditujukan untuk memulihkan nama Soeharto. Yang jelas, apa yang saya tulis ini berdasarkan apa yang saya lihat (baca).
Ajaran komunis yang tidak sesuai dengan ideologi bangsa Indonesia ini, mungkin dikarenakan ajaran komunis itu merupakan paham yang tidak ber-Tuhan. Hal ini sangat bertolak belakang sekali dengan ideologi Pancasila kita ayat pertama yang berbunyi:”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bukankah ajaran komunis itu tidak memasukkan unsur agama ke dalam pemerintahan ? kita lihat di Cina, mereka juga memiliki agama. Setiap sistem politik itu jangan dipandang sebelah mata, akan tetapi kita harus benar-benar terbuka dengan hal ini. Sah-sah saja kalau misalnya paham kita komunis dan sah juga kalau paham kita nasionalis atau paham-paham yang lain. Bukankah kita memang diciptakan berbeda-beda oleh Allah. Dan perbedaan itu adalah rahmat, tinggal bagaimana kita harus menyikapi hal ini. Orang yang mengatakan bahwa komunis itu, paham yang sesat mungkin saja ini akibat dari doktrin yang telah didapatnya selama Soeharto menjabat atau orang ini bisa mengatakan hal itu karena dia punya argumen tersendiri. Kalau kita melihat Cina, negara itu berpaham komunis akan tetapi negara itu maju. Amerika yang berpaham demokratis juga maju. Sekarang kembali kepada kita, bagaimana menjalankan paham yang kita yakini sebagai paham yang cocok dengan kepribadian kita dan bisa membuat negara ini maju. Jangan ideologinya saja yang demokratis, tapi implementasinya juga harus demokratis, tidak terbelit-belit dengan kepentingan-kepentingan pihak yang tidak berkepentingan, dan bisa memajukan bangsa Indonesia ini.

Rabu, 20 Agustus 2008

Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat (Invasi Teluk Babi Kuba di bawah Kepemimpinan John Fitzgerald Kennedy)

Invasi Teluk Babi (di Kuba dikenal pula sebagai Playa Girón sesuai dengan pantai di Teluk Babi tempat pendaratan pasukan penyerbu) adalah sebuah pendaratan yang direncanakan dan didanai oleh Amerika Serikat dan dilakukan oleh orang-orang Kuba di pembuangan di Kuba barat daya untuk menggulingkan pemerintahan Fidel Castro pada 1961. Peristiwa ini menandai klimaks tindakan anti-Kuba oleh AS. Ketegangan AS-Kuba telah bertumbuh sejak Castro menggulingkan rezim diktator militer sayap kanan Jenderal Fulgencio Batista yang didukung AS pada 1 Januari 1959. Pemerintahan Eisenhower dan Kennedy telah menilai bahwa pergeseran Castro kepada Uni Soviet tidak bisa diterima, dan karena itu mereka berusaha menggulingkannya. Namun, invasi ini gagal total dan ternyata menjadi noda internasional bagi pemerintahan Kennedy.
Kegagalan upaya invasi ini telah dianalisis sebagai kasus ideal tentang groupthink dan pengambilan keputusan yang buruk. Yang lain, khususnya orang-orang Amerika-Kuba, memandang masalah ini sebagai keputusan kebijakan oleh pemerintah Kennedy untuk menyingkirkan para pelarian Kuba yang mengganggu, dan pandangan ini menimbulkan akibat yang berkepanjangan, dan yang kini menguntungkan Partai Republik.[1]
A.
//
Persiapan Invasi ke Teluk Babi
CIA telah mulai merekrut dan melatih para pelarian Kuba pada masa pemerintahan Eisenhower, berbulan-bulan sebelum AS memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuba pada Januari 1966, ketika ketegangan antara Washington dan Havana meningkat. Namun, Wakil Presiden Richard Nixon, dan bukan Eisenhower yang mendorong agar rencana itu dilaksanakan. Setelah itu Nixon selalu khawatir bahwa keterlibatan dan tanggung jawabnya atas kegagalan operasi itu akan muncul. CIA mula-mula yakin bahwa badan itu mampu menggulingkan Castro, karena sebelumnya telah berhasil menggulingkan Perdana Menteri Mohammed Mossadegh dari Iran pada 1953 dan Presiden Jacobo Arbenz Guzmán dari Guatemala pada 1954.
Dalam rencana semula adalah mendaratkan Brigade Pelarian (Brigade 2506) di daerah sekitar kota kolonial tua Trinidad, Kuba, yang terletak di provinsi tengah Sancti Spiritus sekitar 400 km barat daya Havana di kaki pegunungan Escambray. Pemilihan lokasi Trinidad memberikan sejumlah pilihan yang dapat dimanfaatkan oleh brigade pelarian itu dan yang akan menguntungkan mereka pada waktu penyerbuan. Penduduk Trinidad umumnya menentang Castro dan pegunungan yang terjal di luar kota itu memberikan daerah operasi dan ke sana pasukan penyerbu dapat mengundurkan diri dan melakukan perang gerilya apabila pendaratan itu gagal. Sepanjang tahun 1960, pasukan Brigade 2506 yang terus bertambah itu berlatih di lokasi-lokasi di seluruh Florida selatan dan di Guatemala untuk melakukan pendaratan pantai dan kemungkinan pengunduran diri ke gunung.
Namun, misi tersebut ternyata gagal total. Atas perintah Kennedy, misi itu diubah sehingga pendaratan Brigade 2506 dilakukan di dua titik di Provinsi Matanzas, 202 km tenggara Havana di ujung timur jazirah Zapata di Bahia de Cochinos (Teluk Babi). Pendaratan itu akan dilakukan di pantai Girón dan Larga.
Di lain pihak, Pemerintah Castro tenang-tenang saja. Tenang bukan karena tidak mengetahui rencana Kennedy. Melainkan sebaliknya, pemerintah Castro telah diperingatkan oleh agen-agen senior KGB (Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti; badan intelijen Uni Soviet), Osvaldo Sánchez Cabrera dan "Aragon," yang masing-masing meninggal dengan menyedihkan sebelum dan sesudah penyerbuan itu (Welch dan Blight, hlm. 113). Pemerintah AS sadar bahwa kemungkinan akan terjadi banyak korban.[2]
B. Invasi Teluk Babi (Pig Bay)
Pagi hari 15 April 1961, tiga penerbangan pesawat pengebom ringan Douglas B-26B Invader dengan tanda Fuerza Aerea Revolucionaria (FAR - Angkatan Udara Revolusioner) pada pesawatnya, mengebom dan menembaki landasan-landasan udara Kuba di San Antonio de Los Baños, Bandara Internasional Antonio Maceo, dan landasan udara di Ciudad Libertad. Operasi Puma, kode yang diberikan untuk serangan udara terhadap Angkatan Udara Revolusioner Kuba itu, merencanakan serangan udara selama 48 jam di seluruh pulau tersebut untuk menghancurkan secara efektif kekuatan udara Kuba, memberikan jaminan kepada Brigade 2506 keunggulan udara terhadap pulau tersebut sebelum pendaratan yang sesungguhnya di Teluk Babi.
Namun hal ini gagal, karena serangan udara itu tidak berlangsung terus-menerus seperti yang direncanakan semula, karena dibatasi oleh keputusan-keputusan pada tingkat tertinggi pemerintahan AS, dan Castro telah mengetahui terlebih dulu mengenai invasi ini dan telah menyingkirkan pesawat-pesawatnya hingga tidak bisa dihancurkan. Dari pesawat-pesawat Brigade 2506 yang dikirim pada pagi 15 April itu, salah satunya ditugasi untuk memberikan kisah heroik CIA dalam invasi tersebut.
Pesawat B-26B dua penumpang yang dimodifikasi sedikit yang digunakan untuk misi ini dikemudikan oleh Captain Mario Zuniga. Sebelum berangkat, penutup mesin dari salah satu dari kedua mesinnya diangkat oleh petugas pemeliharaan, ditembak, lalu dipasang kembali untuk memberikan kesan bahwa pesawat itu telah ditembaki dari darat pada saat penerbangannya. Captain Zuniga berangkat dari sebuah pangkalan pembuangan di Nikaragua dalam sebuah misi penerbangan rendah solo yang akan membawanya ke atas provinsi paling barat, Pinar del Rio, Kuba, dan kemudian ke timur laut menuju Key West, Florida. Begitu berada di atas pulau Kuba, Captain Zuniga terbang curam meninggi menjauhi gelombang Selat Florida ke suatu ketinggian di mana ia akan terdeteksi oleh instalasi radar AS berada di utara Kuba. Pada suatu ketinggian dan jarak yang aman di sebelah utara pulau itu, Captain Zuniga menghiasi mesin dengan lubang-lubang peluru hasil penembakan terlebih dulu pada penutup mesinnya, lalu mengirimkan pesan SOS dan meminta izin untuk segera mendarat di Stasiun Udara Angkatan Laut Boca Chica beberapa kilometer di sebelah timur laut dari Key West, Florida.
Pada saat pesan Captain Zuniga disampaikan kepada dunia pada tengah pagi tanggal 15 itu, tinggal satu pesawat pengebom Douglas dari Brigade itu yang belum kembali ke atas laut Karibia pada suatu bagian penerbangan selama 3 1/2 jam ke pangkalan mereka untuk kembali dipersenjatai dan mengisi bahan bakar. Namun, pada saat pendaratan, para awak penerbang itu menemukan pesan kawat dari Washington yang memerintahkan mereka untuk menunda tanpa balas semua operasi pertempuran lebih lanjut terhadap Kuba.
Pada 17 April 1961, sekitar 1.500 Brigade Pelarian Kuba yang dilengkapi dengan persenjataan Amerika mendarat di pantai selatan Kuba di Teluk Babi. Mereka berharap akan mendapatkan dukungan dari penduduk setempat, dan bermaksud melintasi pulau itu ke Havana. CIA mengasumsikan bahwa invasi itu akan menimbulkan pemberontakan rakyat melawan Castro. Namun, operasi itu telah dinantikan oleh Castro, dan dalam mengantisipasi serangan itu, pemerintah menangkapi sejumlah besar orang Kuba anti-Castro.
Masih dengan langkah yang polos, CIA juga menduga kuat kalau penyerbuan itu akan berhasil mengobarkan pemberontakan rakyat Kuba terhadap Fidel Castro. Namun kenyataanya, semua dugaan itu nol besar!
Pasukan Castro yang telah disebar untuk menjemput Brigade 2506 berbaur dengan masyarakat. Mereka kemudian melakukan perlawanan sengit terhadap kelompok pelarian yang ditunggangi AS. Brigade 2506 pun menjadi bulan-bulanan para pasukan Castro. Pada saat Brigade 2506 terperangkap pasukan Castro, di situlah semua pihak menunggu tindakan Kennedy. Diperkirakan Kennedy akan segera menurunkan dukungan udara dan bala bantuan dari pasukan Marinir, karena kapal-kapal pendarat AS sebelumnya telah berjaga di lepas pantai di sekitar Teluk Babi. Tapi nyatanya sebaliknya. Kennedy malah “cuci tangan” dan tidak ingin ketahuan rencana invasinya itu mencuat menjadi konflik terbuka AS-Kuba.
Kennedy memutuskan untuk tidak memberikan dukungan udara AS kepada invasi yang gagal itu (meskipun empat penerbang AS konon terbunuh atau tertangkap di Kuba pada waktu invasi) karena ia menentang intervensi terbuka dan kenyataannya tak suatu pun kecuali pasukan-pasukan darat AS yang dapat menyelamatkan operasi itu. Kennedy pun membatalkan sejumlah sortie pengeboman (hanya dua yang terjadi) pada Angkatan Udara Kuba yang diberikan perintah untuk tidak terbang, yang mungkin sudah akan melumpuhkan Angkatan Udara Kuba dan memberikan keunggulan udara kepada para penyerang. Marinir AS tidak dikirim, meskipun ada kapal-kapal pendukung di lepas pantai yang siap untuk mendarat begitu mendapat perintah.[3]
Pada saat pertempuran berakhir pada 19 April, 114 orang pelarian Kuba meninggal dan sisanya tertangkap. Ke-1.189 pasukan pelarian Kuba itu dengan cepat diadili dan dijatuhi hukuman 30 tahun penjara dengan tuduhan pengkhianatan terhadap Castro!
Melalui perundingan yang dilaksanakan selama 20 bulan dengan AS, Kuba melepaskan para tawanan itu dengan imbalan bantuan makanan dan obat-obatan senilai 53 juta dollar AS.
Invasi Teluk Babi yang gagal ini sangat memalukan pemerintahan Kennedy, dan membuat Castro khawatir tentang kemungkinan intervensi AS di masa depan di Kuba. Akibat kegagalan ini, Direktur CIA, Allen Dulles, Wakil Direktur CIA, Charles Cabell, dan Wakil Direktur Operasi, Richard Bissell, dipaksa mengundurkan diri. Ketiga orang ini bertanggung jawab atas perencanaan operasi di CIA. Namun, pemerintah AS tetap melanjutkan operasi-operasi rahasia yang tidak kompeten di Kuba, dan belakangan melakukan Proyek Kuba untuk "menolong Kuba menggulingkan rezim Komunis itu." Ketegangan kemudian memuncak kembali dalam Krisis Misil Kuba tahun 1962.
CIA menulis sebuah laporan internal yang terinci yang menuduh bahwa kegagalan itu terletak semata-mata pada ketidakkompetenan internal. Sejumlah kekeliruan fatal oleh CIA dan analis Amerika lainnya ikut menyebabkan kegagalannya:
Pemerintah yakin bahwa pasukan-pasukan itu dapat mengundurkan diri ke pegunungan untuk memimpin sebuah perang gerilya bila mereka kalah dalam perang terbuka. Pegunungan itu terlalu jauh untuk dijangkau dengan berjalan kaki, dan pasukan-pasukan itu diterjunkan di daerah berawa-rawa di mana mereka dengan mudah dikepung.
Mereka percaya bahwa keterlibatan AS dalam insiden itu dapat disangkal.
Mereka yakin bahwa orang-orang Kuba akan berterima kasih bila dibebaskan dari Castro dan segera akan bergabung dalam pertempuran, namun kebanyakan rakyat Kuba sangat mendukung Castro dan Revolusi; ribuan orang lainnya ditangkap sebelum pendaratan. Keyakinan CIA yang nyaris total bahwa rakyat Kuba akan bangkit dan bergabung dengan mereka hampir pasti didasarkan pada kehadiran badan itu yang sangat lemah di daratan Kuba. Karena itu, hampir semua informasi mereka datang dari para pengungsi dan pembelot, yang ternyata bukan sumber-sumber informasi yang layak dipercaya. Agen CIA, E. Howard Hunt, telah mewawancarai orang-orang Kuba di Havana sebelum invasi; dalam sebuah wawancara di kemudian hari dengan CNN, ia berkata, "...apa yang dapat saya temukan hanyalah antusiasme besar untuk Fidel Castro."[4]
Mereka percaya bahwa semangat pasukan invasi itu tinggi, karena itu invasi harus berlangsung dengan cepat.
Banyak pemimpin militer cukup yakin bahwa invasi itu akan gagal namun mereka mengira bahwa Kennedy akan mengirimkan Marinir untuk menyelamatkan para pelarian itu. Namun, Kennedy tidak menginginkan perang besar-besaran dan meninggalkan para pasukan pelarian.
Sebuah artikel Washington Post, "Soviets Knew Date of Cuba Attack" (Soviet tahu tanggal penyerangan Kuba) (April 29, 2000), menunjukkan bahwa CIA memiliki informasi yang menunjukkan bahwa Uni Soviet mengetahui invasi yang akan dilakukan dan tidak memberitahukannya kepada Kennedy. Radio Moskow malah menyiarkan siaran berbahasa Inggris pada 13 April 1961 yang meramalkan invasi "dalam sebuah rencana yang ditelurkan oleh CIA" dengan menggunakan "kriminal-kriminal" bayaran dalam tempo seminggu. Invasi itu terjadi empat hari kemudian.[5]
Invasi ini seringkali dikritik karena menjadikan Castro bahkan lebih populer, menambahkan sentimen-sentimen nasionalistik terhadap dukungan bagi kebijakan-kebijakan ekonominya. Setelah pengeboman B-26 yang pertama, Castro mengumumkan revolusi "Marxis-Leninis". Setelah invasi itu, ia mengembangkan hubungan yang lebih erat dengan Uni Soviet, sebagian untuk mendapatkan perlindungan, yang merintis jalan bagi Krisis Misil Kuba satu setengah tahun kemudian.
Setiap tahun masih dilakukan latihan bahaya penyerangan tahunan di seluruh Kuba pada 'Dia de la Defensa' (hari pertahanan) untuk mempersiapkan seluruh penduduk terhadap invasi.
Istilah "Teluk Babi" juga digunakan oleh Presiden Richard Nixon sebagai acuan rahasia terhadap pembunuhan Kennedy dalam percakapan Gedung Putih yang terekam dalam pita-pita rekaman Watergate.
Perlawanan terhadap Castro berlanjut di wilayah umum sekurang-kurangnya sampai 1965 dalam tindakan-tindakan yang disebut pemerintah Kuba sebagai Perang melawan para bandit.

▪ KESIMPULAN

Invasi Teluk Babi di Kuba yang dilakukan oleh Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden John F. Kennedy lebih dominan dilatarbelakangi oleh faktor-faktor eksternal, yaitu sejak Castro menggulingkan rezim diktator militer sayap kanan Jenderal Fulgencio Batista yang didukung AS pada 1 Januari 1959. Pemerintahan Eisenhower dan Kennedy telah menilai bahwa pergeseran Castro kepada Uni Soviet tidak bisa diterima, dan karena itu mereka berusaha menggulingkannya. Hal ini dilakukan oleh Amerika mengingat bahwa Fidel Castro adalah seorang sosialis-komunis. Dengan berkuasanya Fidel Castro maka akan bertambahnya musuh Amerika yang berhaluan kiri (tidak menganut sistem pemerintahan yang demokratis) terlebih letak geografis Amerika dengan Kuba sangat berdekatan. Jika pengaruh Fidel Castro yang berhaluan kiri ini tidak dihentikan, maka tidak menutup kemungkinan akan ada negara lainnya yang bisa terdoktrinisasi oleh pemimpin Kuba yang berhaluan komunis ini.
Kemudian instrumen yang digunakan Amerika (John F. Kennedy) pada saat itu ialah menggunakan instrumen intervensi dan intelejen. Intervensi di sini ialah dengan mencampuri urusan dalam negeri Kuba untuk menentukan dan mempertahankan mana-mana saja orang yang “layak” menurut Amerika untuk memimpin Kuba asal tidak berhaluan komunis. Selain itu, Kennedy juga membantu dan mendanai pasukan pemberontak yang ada di pembuangan di Kuba barat daya untuk menggulingkan pemerintahan Fidel Castro pada 1961, yang dikenal sebagai tindakan subversi.. Namun, sayangnya invasi terebut berhasil digagalkan oleh Fidel Castro yang sebelumnya sudah mendapatkan informasi yang lengkap dari Uni Soviet (yang merupakan mitranya) tentang rencana Amerika untuk menginvasi Kuba.
Instrumen kedua yang digunakan adalah intelijen di mana CIA (badan intelijen Amerika) melaksanakan tindakan-tindakan rahasia dalam upaya membantu pemberontak Kuba menggulingkan Fidel Castro. CIA juga merekrut dan melatih para pemberontak itu guna mempersiapkan kekuatan untuk mengambil alih Kuba dari tangan Castro. CIA yakin sekali invasi ini akan berhasil dan mengobarkan pemberontakan rakyat Kuba terhadap Fidel Castro. Namun sayang, ternyata invasi Amerika kali ini gagal.
[1] Diperoleh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Invasi_Teluk_Babi, 20 Desember 2007, 21.30 WIB.
[2] “Icons of the World”, op. cit., hlm. 21.
[3] Ibid, http://id.wikipedia.org/wiki/Invasi_Teluk_Babi, 20 Desember 2007, 21.30 WIB.
[4] Ibid.
[5] Ibid.

Hukum Diplomatik (Kasus Pencalonan LetJen. Herman Bernhard Leopold Mantiri, ex-calon Dubes RI untuk Australia)

▪ Konvensi Wina 1961 Mengenai Hubungan Diplomatik
Setelah berdirinya PBB pada tahun 1945, untuk pertama kalinya, perkembangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah dimulai sejak thaun 1949 secara insentif oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission), khususnya ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik telah digariskan secara rinci. Akhirnya setelah melalui perjalanan panjang selama 12 tahun, konferensi berkuasa penuh (Plenipotentiary Conference) telah diadakan di Wina, Austria pada tanggal 2 Maret-14 April 1961 dan telah mengesahkan suatu konvensi dengan judul “Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik” pada tanggal 18 April 1961.[1]
Pasal 1-19 Konvensi wina 1961 menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik, hak dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan surat-surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan Diplomatik (Duta Besar); Pasal 20-28 mengenai kekbalan dan keistimewaan bagi misi-misi diplomatik termasuk pembebasan berbagai pajak. Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi anggota keluarga para diplomat dan staf lainnya; Pasal 37-47 juga menyangkut kekebalan dan keistimewaan bagi anggota keluarga para diplomat dan staf pelayanan yang bekerja pada mereka. Dan terakhir, Pasal 48-53 berisi berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi, dan mulai berlakunya Konvensi tersebut.

▪ Pengangkatan dan Penerimaan Utusan-utusan Diplomatik
Sarana diplomasi dahulu biasa disertai dengan serangkaian upacara dan ritus, yang sampai tingkat tertentu hal ini masih dipergunakan. Prosedur seremonial, misalnya, pada umumnya diprhatikan sehubungan dengan kedatangan dan keberangkatan utusan-utusan diplomatik.
Pengangkatan seorang individu sebagai Duta Besar atau duta biasanya diberitahukan kepada negara tempat orang itu diakreditasikan dalam bentuk surat-surat resmi tertentu, dengan mana perutusan itu diperlengkapi, yang dikenal sebagai Surat-surat Kepercayaan(Letter of Credence) atau Lettre de Creance. Surat-surat ini adalah untuk remisi kepada negara penerima (Receiving State). Selain surat-surat kepercayaan perutusan tersebut dapat pula membawa serta dokumen-dokumen Kuasa Penuh yang berkaitan dengan negosiasi-negosiasi tertentu atau instruksi-instruksi tertulis khusus lainnya.
Negara-negara dapat menolak untuk menrima utusan-utusan diplomatik: (a) secara umum, atau berkaitan dengan suatu misi negosiasi khusus, atau (b) karena perutusan khusu secara pribadi tidak dapat diterima. Dalam kasus yang disebut terakhir itu negara yang mengajukan penolakan atas utusan itu tidak diharuskan untuk mendasarkan penolakannya pada akreditasi atau tidak harus mencari dasar alasannya (lihat Pasal 4 ayat 2 Konvensi Wina). Sebagai akibatnya, untuk menghindarkan timbulnya konflik, suatu negara ynag hendak mengangkat seseorang sebagai utusannya sebelumnya harus memastikan bahwa orang yang bersangkutan adalah persona grata. Jika persetujuan atau perjanjian kepastian demikian telah diperoleh, maka negara yang telah mengangkat utusan telah aman melakukan pengangkatan resmi utusannya. Walaupun demikian, pada suatu waktu kemudian, negara penerima utusan, tanpa harus menjelaskan keputusannya, dapat memberitahu negara pengirim bahwa utusannya itu persona non grata, dalam kasus ini orang itu harus dipanggil pulang, atau tugasnya diakhiri (Pasal 9 Konvensi Wina).[2]
A. Persona Grata
Saat ini hampir setiap negara memiliki perwakilan diplomatik di negara-negara lain, karena perwakilan ini merupakan cara yang paling baik dalam mengadakan pembicaraan atau perundingan mengenai permasalahan kepentingan nasional masing-masing negara, baik di bidng politik, ekonomi, perdagangan, sosial, budaya, maupun menyangkut kehidupan internasional lainnya.
Jika suatu negara telah menyetujui pembukaan hubungan diplomatik dengan dengan negara lain melalui suatu instrumen atas dasar asas timbal balik (principle reciprocity) dan asas saling menyetujui (principle mutual consent)[3], negara –negara tersebut sudah harus memikirkan pembukaan suatu perwakilan diplomatik dan penyusunan keanggotaan perwakilan tersebut, baik dalam tingkatannya maupun jumlah anggota staf perwakilan yang telah disetujui bersama atas dasar asas yang wajar dan pantas (principle reasonable and normal)[4].
Pengangkatan anggota staf perwakilan diplomatik oleh negara pengirim (sending State) pada umumnya memerlukan persetujuan dari negara penerima (Receiving State), karena negara pengirim dapat secara bebas mengangkatnya dan cukup hanya memberitahukan kepada Kementerian Luar Negeri negara peerima melalui nota diplomatik mengenai nama, kedudukan, pangkat diplomatiknya, anggota keluarganya, dan tanggal kedatangannya.[5] Dikecualikan hanya pada pengangkatan Duta Besar dan Atase Pertahanan yang memerlukan persetujuan terlebih dahulu sebagai orang-orang yang dapat diterima untuk memangku jabatan-jabatan tersebut (persona grata).[6]
Menurut Oppenheim, pengangkatan perwakilan diplomatik ini, hukum internasional tidak menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang supaya dapat diangkat menjadi seorang duta atau konsul, semua persyaratan ditentukan sendiri oleh tiap-tiap negara.[7] Namun, menurut Sir Harold Nicholson, dalam bukunya “Diplomacy” menyebutkan bahwa seorang diplomat harus memenuhi syarat sebagai berikut:[8]
Kejujuran (truthfulness),
Ketelitian (precision),
Ketenangan (calm),
Temperamen yang baik (good temper),
Kesabaran dan kesederhanaan (patience and modesty),
Kesetiaan (loyalty).
Pengangkatan seorang Duta Besar di suatu negara penerima oleh negara pengirim terlebih dahulu harus dimintakan persetujuan (agrément) dari negara penerima.[9] Untuk memperoleh agrément semacam itu, negara pengirim harus menyatakan terlebih dahulu dengan disertai hal ikhwal yang berkaitan dengan latar belakang calon Duta Besar (curriculum vitae) yang memang diperlukan oleh negara penerima untuk mempertimbangkan dalam memberikan agrément atau dinyatakan sebagai persona grata. Negara pengirim haruslah memperoleh kepastian bahwa agrément dari negara penerima telah diberikan kepada seseorang yang telah dicalonkan sebagai Duta Besar di negara tersebut. Jawaban mengenai pemberian agrément tersebut dari negara penerima dapat disampaikan secara tertulis atau secara lisan, atau mungkin mengalami penundaan yang begtiu lama yang pada hakikatnya dapat diartikan secara diam-diam dimintakan penggantinya yang lain. Sedangkan pengangkatan atase-atase militer, laut, dan udara, oleh negara pegirim haruslah terlebih dahulu dimajukan nama-namanya untuk memperoleh persetujuan atau dinyatakan dapat diterima (persona grata) oleh negara penerima.[10]
Setelah melalui prosedur untuk memilih dan mengangkat seorang Duta Besar di negara lain, Kementerian Luar Negeri haruslah menempuh berbagai formalitas yang sudah diterima secara internasional, antara lain seperti permintaan agreation atau agrément dari negara penerima, dan setelah memperoleh agrément tersebut perlu pemrerintahnya (Kepala Negara atau Pemerintah) mengeluarkan Surat-surat Kepercayaan (Letters of Credence atau Lettre de Creance atau Credentials) dan mengirimkan Duta Besarnya ke negara penerima. Walaupun dalam mengangkat Duta Besar, suatu negara mempunyai hak yang melekat, negara penerima juga mempunyai hak yang sama, yaitu untuk tidak menerima calon Duta Besar yang telah dipilih oleh negara pengirim tersebut. Guna menghindari timbulnya hal-hal tersebut yang dapat mengganggu atau mempengaruhi hubungan antara negara yang sudah dirintis dengan baik, sering dilakukan pendekatan terlebih dahulu dengan negara penerima kemungkinannya calon Duta Besar dari negara pengirim dapat diterima.[11]
Setelah memperoleh agrément, Duta Besar yang lama dengan membawa surat-surat kepercayaan (Credentials) yang harus disampaikan kepada Kepala Negara negara penerima. Akan sangat bijaksana bagi seorang Duta Besar baru untuk memastikan bahwa surat penarikan Duta Besar yang lama (letter of recall) telah disampaikan dalam situasi yang layak atau jika formalitas itu belum dilakukan, Duta Besar baru tersebut akan membawanya serta. Dalam beberapa hal dapat pula terjadi bahwa pada waktu tiba di posnya yang baru, dan meminta waktu untuk menyerahkan surat-surat kepercayaannya, ia memperoleh jawaban bahwa Duta Besar yang digantikannya belum functus officio, karena itu pengakuan Duta Besar yang baru dapat mengalami penundaan sampai dokumen yang diperlukan dapat diperoleh dari negara pengirim.[12]
Pada waktu kedatangan Duta Besar yang baru di ibukota negara penerima, secara resmi harus segera memberitahukan kepada Menteri Luar Negeri, dan meminta waktu yang tepat untuk menerimanya. Ia juga meminta kepada Menteri Luar Negari agar dapat bertemu dengan Kepala Negara untuk dapat menyerahkan surat-surat keprcayaan, sedangkan salinan surat-surat kepercayaan tersbut harus pula diserahkan kepada Menteri Luar Negeri negara penerima, salinan ini dikenal sebagai copie figure atau di London biasa disebut copie d’usage. Dokumen ini tidak memerlukan tanda tangan, tetapi baik bahsa maupun kata-katanya harus sama dengan aslinya dengan diketik, difoto kopi, dicetak, atau ditulis tangan. Suatu terjemahan tentunya sangat berguna, khusus jika aslinya dituliskan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh negara penerima, tetapi hal itu bukan menggantikan salinan tersebut.[13]
Penyerahan salinan surat-surat kepercayaan kepada Menteri Luar Negeri itu sangat dianggap penting karena akan dapat menandai mulainya Duta Besar baru berfungsi. Seperti juga dinyatakan dalam Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik[14], bahwa:

“Kepala Perwakilan dianggap telah memulai tugasnya di negara penerima pada saat ia telah menyerahkan surat-surat kepercayaannya atau setelah ia memberitahukan kedatangannya dan telah menyerahkan sabuah salinan dari surat-surat kepercayaan aslinya kepada Menteri Luar Negeri negara penerima….”

B. Persona non Grata
Jika negara pengirim tetap dengan pendiriannya untuk mengangkat seseorang yang tidak dapat diterima oleh negara penerima, hal itu bukan saja akan dapat merugikan sendiri terhadap maksud dan tujuan yang akan dicapai, tetapi juga dapat menciptakan situasi yang bisa mempengaruhi hubungan baik kedua negara tersebut. Di satu pihak, jika negara penerima menyatakan penerimaan terhadap pengangkatan seseorang calon Duta Besar (Ambassador Designate) dari negara pengirim, hal itu dinyatakan sebagai persona grata. Di lain pihak, jika negara penerima menganggap bahwa seseorang itu tidak dapat diterima karena kegiatan-kegiatan dan kecenderungan di amsa lampau atau latar belakang lainnya, negara penerima dapat memberitahukan kepada negara pengirim ketidaksetujuannya untuk menerima pengangkatan Ambassador Designate melalui sebuah nota diplomatik yang menyatakan calon tersebut sebagai persona non grata.
Setiap negara mempunyai hak menolak untuk menerima seorang pejabat diplomatik, apakah atas dasar sifat pribadinya atau latar belakang sebelumnya, misalnya jika ia dikenal pernah menanamkan rasa sentiment yang bernada kebencian atau permusuhan terhadap negara tempat ia akan daingkat sebagai Kepala Perwakilan dari perwakilan diplomatik. Karena itu, ia dapat dinyatakan ditolak karena sifatnya terhadap negara tempat ia akan diangkat, atau dalam bahasa Latin dinyatakan dengan jelas sebagai ex eo ob quod mittitur,[15] suatu ungkapan diplomatik bagi negara penerima untuk tidak menerimanya atau seperti dijelaskan dai atas sebagai deklarasi persona non grata.
Penolakan agrément bagi seorang calon Duta Besar oleh negara penerima tidak perlu diberikan alasan apapun, sebaliknya negara pengirim juga tidak perlu untuk menanyakan alasan penolakan untuk memberikan agrément tersebut. Pasal 4 ayat I Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik khusu memberikan kewajiban bagi negara penerima ntuk tidak memberikan alasan bagi penolakan persetujuan atau agrément tersebut. Sedangkan dalam Pasal 9 ayat 1 lebih luas lagi pengertiannya bukan saja penolakan itu ditujukan kepada calon Duta Besar tetapi juga kepada seseorang anggota staf diplomatik termasuk anggota staf lainnya dari sesuatu perwakilan diplomatik. Dalam kasus seperti ini, negara pengirim berkewajiban menarik kembali orang yang bersangkutan ke negaranya atau mengehntikan tugasnya di perwakilan tersebut. Ketentuan dalam Pasal 9 ayat 1 ini mempunyai hakikat bahwa deklarasi persona non grata itu dapat dinyatakan baik sebelum maupun setelah tiba di wilayah negara penerima.[16]
Penolakan untuk menerima seorang calon Duta Besar atau pejabat diplomatik dari negara pengirim dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
(i) Jika calon tersebut dianggap dapat mengganggu hak kedaulatan negara di mana ia akan diakreditasikan, karena sikap pribadinya juga yang disangsikan; seperti halnya dalam kasus Duke of Buckingham, sebagai calon Duta Besar Inggris di Perancis ditolak oleh Pemrintah Perancis, ia terbukti “sangat menjengkelkan” (proved obnoxious) terhadap Pemerintah Perancis, karena dianggap telah mencintai Ratu Perancis selama kunjungannya di Paris sebelumnya.
(ii) Jika menunjukkan rasa permusuhan (hostile act) baik terhadap rakyat maupun lembaga di negara tempat ia akan diakreditasikan; dalam kasus Mr. Keiley, calon Duta Besar Amerika serikat di Italia pada tahun 1885 tempat ia telah ditolak oleh Pemerintah Italia karena pada tahun 1881, ia memprotes aneksasi Papal State oelh Italia. Dan tatkala Pemerintah amerika Serikat mengangkatnya ke Austria sebagai Duta Besar juga kemudian ditolaknya karena ternyata istrinya seorang Yahudi.
(iii) Jika ia menjadi pokok persoalan di negara penerima dan negara akreditasi tersebut tidak mau memberikan kepada calon tersebut kekebalan-kekebalan sebagai calon Duta Besar.[17]

C. Penolakan calon Duta Besar secara eksepsional
Jika pemerintah suatu negara pengirim telah memutuskan secara sementara untuk mengangkat Duta Besarnya ke suatu negara penerima, negara pengirim harus segera menyampaikan kepada negara penerima, nama calon Duta Besar itu yang biasanya harus disertai dengan riwayat hidupnya secara lengkap (curriculum vitae) untuk memperoleh persetujuan dari negara penerima (agrément). Hal ini sesuai pula dengan ketentuan dalam Konvensi Mina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik bahwa negara pengirim harus yakin persetujuan dari negara penerima telah diberikan kepada orang yang diusulkan sebagai Duta Besar negaranya :

“The sending State must make certain that the agreement of the receiving State has been given for the person it proposes to accredit as head of the mission to that State”.[18]

Namun setiap negara mempunyai hak untuk menolak calon siapapun, apakah hal itu didasari oleh sifat pribadinya ataupun mungkin latar belakang sebelumnya. Misalnya, jika ia terbukti telah menanamkan rasa permusuhan atau kebencian terhadap negara dimana calon Duta Besar itu atau ditempatkan, maka negara penerima bisa saja menolak untuk menerima calon tersebut sebagai Duta Besar. Penolakan semacam itu bagi negara penerima tidak diwajibkan untuk memberikan alasan kepada negara pengirim.

“The receiving State is not obliged to give reasons to the sending State for a refusal of agreement”.[19]

Penolakan seseorang calon Duta Besar di suatu negara memang banyak kasusnya. Penolakan itu dapat dinyatakan bukan saja sebelum memperoleh agrément tetapi dapat pula terjadi setelah memperoleh agrément. Bahkan calon Duta Besar yang telah memperoleh agrément dan telah sampai di negara penerima dan telah siap untuk menyerahkan surat-surat kepercayaannya dapat pula mengalami kegagalan karena adanya peninjauan kembali atau pertimbangan kembali terhadap agrément yang telah diberikan oleh negara penerima.
Bahkan dewasa ini dimana kondisionalitas-kondisionalitas politik dapat dikenakan terhadap suatu negara seperti kondisi hak azasi, kondisi lingkungan, kondisi demokrasi di suatu negara dapat pula menjadi pertimbangan untuk penolakan seorang calon Duta Besar di suatu negara. Dengan demikian, sering menjadi pertanyaan apakah suatu negara dapat mempermasalahkan kondisi hak-hak azasi negara lain yang pada hakekatnya dapat dianggap sebagai campur tangan suatu negara terhadap urusan dalam negeri negara lain.
Sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur tentang hubungan kerja sama antar negara, maka semua negara berkewajiban untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Prinsip ini perlu dihormati dalam rangka menciptakan kehidupan bersama semua negara secara damai.
Adanya campur tangan dalam bentuk apapun pada hakekatnya bukan saja merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum internasional tetapi juga dapat menciptakan situasi yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Lebih jauh prinsip non-intervensi semacam itu telah dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Deklarasi PBB mengenai prinsip-prinsip hukum internasional mengenai hubungan bersahabat dan kerja sama di antara negara sejalan dengan piagam PBB yang antara lain disebutkan bahwa :

“No State or group of States has the right to intervene, directly or indirectly, for any reason whatever, in the internal or external affairs for any other State”.[20]
Oleh karena itu, campur tangan di dalam bentuk apapun seperti pengenaan kondisionalitas-kondisionalitas tersebut hanyalah merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum internasional yang sudah diterima oleh masyarakat internasional. Kedaulatan suatu negara mempunyai makna bukan saja kemampuan sepenuhnya untuk bertindak tetapi juga sebagai personalitas internasional yang mempunyai kapasitas untuk bertindak secara hukum. Negara-negara dapat melakukan tindakan apa saja yang dirasakan sesuai dan tidak melanggar hukum internasional, dengan pengertian bahwa tindakan itu bukanlah merupakan campur tangan terhadap hak negara lain.[21]
Masalah campur tangan ini dapat dilakukan hanya dalam hal penggunaan sanksi Dewan Keamanan atas dasar Bab VII Piagam PBB :

“Tidak ada ketentuan apapun dalam Piagam PBB yang memberi kuasa pada PBB untuk mencampuri urusan-urusan yang pada hakekatnya merupakan masalah dalam negeri suatu negara…. Akan tetapi, prinsip ini tidak mengurangi kemungkinan bagi PBB untuk melakukan campur tangan dalam hal pengenaan sanksi seperti tercantum dalam bab VII Piagam.” [22]

Penolakan untuk menerima saeorang calon Duta Besar dengan pertimbangan kondisionalitas politik seperti “Kondisi hak-hak azasi manusia di suatu negara” terjadi dalam kasus pencalonan Duta Besar Indonesia untuk Australia yaitu Letnan Jenderal HBL Mantiri. Walaupun agrément telah diberikan Australia kepadanya, namun akhirnya ditentang oleh kalangan Parlemen Australia karena kaitannya dengan “Peristiwa 12 November 1991 di Dili” yang dinilai merupakan pelanggaran hak-hak azasi manusia sehingga mengakibatkan pembatalan pencalonan tersebut oleh Indonesia.
Sekitar bulan Maret 1995, pemerintah Indonesia telah mencalonkan Letnan Jenderal HBL Mantiri sebagai Duta Besar RI untuk Australia dan untuk itu telah diminatkan agrément dari pemerintah Australia. Atas permintaan ini pemerintah Australia pada tanggal 31 Mei 1995 secara resmi telah memberikan persetujuannya dengan memberikan agrément kepada Letnan Jenderal Mantiri. Persetujuan pemerintah Australia itu telah dipertegas lagi pada tanggal 29 Juni 1995 oleh Perdana Menteri Australia Paul Keating di Parlemen Australia dengan menegaskan bahwa pemerintahannya tidak melihat situasi apapun dimana harus menolak pencalonan HBL Mantiri :

“There are no circumstances that I can see where we would or should reject a nomination by the President”. “It is the right of every government to choose its own ambassador and propose the candidate to the government of the country where the candidate is to be posted”. “Such a candidate, is seldom rejected except in the most extraordinary circumstances”.[23]

Sebaiknya di dalam Parlemen tersebut sekelompok anggota yang terdiri dari tujuh belas anggota yang mewakili baik golongan pemerintah maupun golongan oposisi telah menyatakan keberatan mereka atas pencalonan Letnan Jenderal Mantiri tersebut sebagai Duta Besar baru Indonesia di Canberra untuk menggantikan yang lama. Seperti diketauhi Letnan Jenderal Mantiri adalah bekas Panglima Daerah Militer yang meliputi pula propinsi Timor Timur, pada waktu “Peristiwa Dili 12 November 1991” terjadi dimana mengakibatkan sejumlah korban yang meninggal dalam peristiwa itu, yang diperkirakan sekitar 50 sampai 100 orang.[24] Walaupun sebenarnya secara pribadi ia tidak terlibat secara langsung dalam peristiwa tersebut, Jenderal Mantiri sebagai Panglima Militer tetap dianggap bertanggung jawab untuk wilayah Timor Timur, yang pada waktu itu oleh kelompok-kelompok hak azasi manusia memang dianggap bertanggung jawab terhadap pembunuhan tersebut.[25]
Persoalan lain yang dipermasalahkan adalah adanya wawancara majalah Editor di Jakarta pada Jenderal Mantiri pada tahun 1992 yang lalu, dimana ia mengatakan bahwa terjadinya bentrokan antara pengunjuk rasa dengan Pasukan Pengamanan yang memakan korban lebih dari 50 orang di Dili setahun sebelumnya dianggap sebagai “hal sangat wajar”.[26]
Wawancara tersebut mengundang reaksi pro dan kontra di Australia. Dalam wawancara itu, Mantiri mengatakan “Kita tidak menyesalkan apa-apa. Apa yang terjadi sudah semestinya … mereka menentang kita, berdemonstrasi, sampai meneriakkan yel-yel anti pemerintah. Untuk saya, ini sama dengan pemberontakan, karena ini kita mengambil tindakan yang tegas”.[27]
Mengenai wawancara ini Menteri Luar Negeri Gareth Evans menjelaskan, sebaiknya Letnan Jendral Mantiri memberikan penjelasan mengenai wawancaranya tersebut setibanya di Australia. Pemerintah Federal Australia samgat menyayangkan komentar Mantiri. “Masyarakat Australia sulit menerima pengangkatan tersebut karena Letnan Jenderal Mantiri sendiri menolak untuk mengambil suatu langkah lagi berupa permintaan maaf atas kata-katanya yang diterbitkan di majalah Editor tahun1992. Pemerintah Australia sebenarnya sudah menyuarakan keberatan tersebut sejak beberapa bulan sebelumnya ketika nama Mantiri muncul sebagai calon Duta Besar untuk Australia, dimana kemudian kami menyuarakan keprihatinan yang telah kami sampaikan sebelumnya”.[28]
Dalam menanggapi sikap Australia semacam itu, Menteri Luar Negeri Indonesia, Ali Alatas, mengumumkan tentang Keputusan Pemerintah Indonesia mengenai Pengangkatan Letnan Jenderal Mantiri sebagai Duta Besar RI untuk Australia sehubungan dengan kehebohan masalah tersebut yang menimbulkan provokasi terhadap negara tetangganya :

“Pemerintah Indonesia memutuskan tidak melanjutkan mencalonan HBL Mantiri, dan pos Duta Besar di Canbera untuk sementara dikosongkan” Pemerintah tidak sudi membiarkan Mantiri dijadikan sasaran suatu kampanye politik, berupa unjuk rasa dan lain-lain tindakan yang dapat berupa penghinaan”.[29]

Dari “Kasus Mantiri” tersebut baik dari ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1961 maupun prinsip-prinsip hukum diplomatik dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 (1) jo. Pasal 9 (1) Konvensi Wina 1961 bahwa Pengangkatan seorang calon Duta Besar, sebelumnya haruslah memperoleh agrement terlebih dahulu dari negara penerima. Namun merupakan hak dari negara penerima untuk menyatakan penolakan (persona non grata) pengangkatan itu tanpa menjelaskan alasan-alasan penolakan tersebut dan hal itu dapat dilakukan bahkan sebelum calon itu tiba di negara akreditasi.
Pencalonan Letnan Jenderal HBL Mantiri sebagai Duta Besar RI untuk Australia telah diajukan oleh pemerintah Indonesia kepada pemerintah Australia untuk memperoleh agrément. Ternyata pemerintah Australia tidak mempunyai keberatan sama sekali, ini terbukti dari agrément bagi calon Duta Besar Mantiri yang secara resmi telah disampaikan oleh pemerintah Australia kepada pemerintah RI pada tanggal 31 Mei 1995.
Keberatan-keberatan yang muncul khususnya di kalangan anggota parlemen Australia merupakan perkembangan baru yang timbul setelah pemerintah Australia memberikan agrément-nya. Walaupun hal itu merupakan pertentangan intern antara pemerintah dan Parlemen Australia, hal itu tidak dapat dihindarkan dampaknya bagi keputusan pemerintah Australia yang telah diambil untuk menyetujui pencalonan Duta Besar Mantiri.
Dalam suatu monograf yang di tulis oleh Eileen Denaz pada tahun 1976, mengenai konvensi diplomatik, ia mempermasalahkan apa yang akan terjadi seandainya negara penerima setelah mempelajari pengangkatan seorang Pejabat Diplomatik di suatu misi di ibukota negaranya, tiba-tiba harus menolak untuk menerima pencalonan tersebut dan menyatakan sebagai “persona non grata”. Jika calon tersebut telah sampai di negara penerima, apakah ia masih berhak menikmati kekebalan diplomatik sampai berakhirnya waktu yang layak untuk keberangkatannya dari negara penerima? Negara penerima mungkin dapat berprasangka bahwa ia dapat memanfaatkan kekebalan dan keistimewaan yang diberikan itu disalahgunakan. Misalnya saja ia mungkin sebagai “seorang yang terlibat tindak perdata atau pidana yang cukup serius”. Denza menyimpulkan bahwa cara yang paling baik dalam suatu kasus semacam itu bagi negara penerima tidak ada cara lain kecuali untuk “menjelaskan situasinya kepada negara pengirim dan memintanya agar memperlakukan baik pengangkatan maupun pemberitahuan itu sebagai hal yang tidak pernah terjadi”. Namun, jika negara pengirim menolaknya, negara penerima dapat menjelaskan bahwa situasinya adalah tidak “normal” jika “negara penerima pada waktu menerima pemberitahuan mengenai pengangkatan segera menolak untuk menerimanya”.[30]
Penolakan calon Duta Besar RI ke Australia Letnan Jenderal Mantiri secara tidak langsung, yang berkembang setelah agrément diterimanya, merupakan hal yang sangat eksepsional yang pada hakekatnya bagi Australia sebagai negara penerima sukar untuk mempertimbangkan kembali persetujuannya yang telah diberikan kepada Letnan Jenderal Mantiri tersebut. Reaksi-reaksi di parlemen yang cukup tajam menentang percalonan tersebut dapat merupakan “penolakan secara tidak langsung dan terselubung” (indirect and facit persona non grata) yang merupakan kenyataan yang harus dikaji kembali dan dipertimbangkan oleh Indonesia sebagai negara pengirim. Karena itu, kemudian pemerintah Indonesia memutuskan membatalkan pencalonan Letnan Jendral Mantiri sebagai Duta Besar RI ke Australia pada tanggal 6 Juli 1995 dan untuk sementara pos Duta Besar RI di Canberra dikosongkan. Pemerintah Australia menyambut baik keputusan tersebut dan menganggap hal itu sebagai langkah terbaik bagi kelangsungan hubungan Indonesia-Ausrtalia.[31]
Sebagaimana dinyatakan juga oleh Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans bahwa betapa keputusan pemerintah Indonesia itu sungguh-sungguh sesuatu yang menolong karena menguntungkan semua pihak. “Penyelesaian itu tidak mudah dicapai, tetapi akhirnya Australia tidak usah mencabut persetujuan yang telah diberikannya”.[32]
Banyak juga dilontarkan pertanyaan apakah pengosongan itu tidak berlaku lama, ataukah sebagai reaksi terhadap Australia, sementara pos Duta Besar di Canberra dikosongkan dan tingkatan Kepala Perwakilan di Kedutaan Besar RI di Canberra hanya tingkat Kuasa Usaha saja?
Kebiasaan di dalam pergaulan diplomatik antarnegara memang sering terjadi baik untuk mengosongkan pos Duta Besar atau menurunkan tingkat Kepala Perwakilan dari Duta Besar menjadi tingkat jabatan yang lebih rendah. Tingkatan semacam ini pada hakekatnya merupakan pencerminan rasa tidak puas, kekecewaan, serta perasaan lainnya dari pemerintah negara pengirim atas tindakan, sikap atau kebijaksanaan negara penerima yang kurang dapat diterima atau disetujui oleh negara pengirim, sikap mana diambil dengan selalu mempertimbangkan intensitas dan tingkat hubungan bilateral negara-negara tersebut.
Dalam “Kasus Mantiri” tersebut pemerintah Indonesia juga telah mengosongkan pos Duta Besar dan membiarkannya di bawah seorang Kuasa Usaha a.i (Ad interim) yang berpangkat Minister (Duta).

▪ KESIMPULAN
Dari seluruh penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengangkatan seorang duta besar biasanya dilakukan atas dan nama kepala negara. Calon-calon duta besar diajukan untuk mendapatkan persetujuannya. Cara pemilihan calon-calon tidak selalu sama tergantung dari sistem dan praktek yang berlaku di suatu negara. Dapat terjadi pemilihan calon ditentukan oleh kabinet atau hanya oleh kementerian luar negeri saja setelah memperhatikan berbagai faktor. Di Amerika Serikat pengangkatan seorang duta besar harus mendapatkan persetujuan dari Senat.
Bila pengangkatan seorang calon duta besar telah diputuskan, namanya segera diajukan kepada pemerintah negara penerima (receiving state) melalui kedutaan besar negara pengirim untuk mendapatkan agrément. Permintaan agérment kepada pemerintahan suatu negara dilakukan secara konfidensial mengingat kemungkinan ditolaknya calon yang diajukan.
Negara penerima berhak menolak seorang calon apakah didasarkan atas perilaku atau kebijakan profesionalnya di masa lalu. Dapat terjadi bahwa seorang calon duta besar mempunyai sikap dan pandangan yang tidk bersahabat terhadap negara penerima dan dalam hal ini pencalonannya dapat ditolak. Demikian juga halnya bila calon tersebut terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang anti negara setempat. Jika calon duta besar tersebut ditolak oleh negara penerima, maka negara penerima tidak berkewajiban untuk memberikan alasan mengenai penolakan tersebut (seperti tercantum dalam Pasal 4 ayat 2 Konvensi Wina). Biasanya penolakan itu bukan dalam bentuk komunikasi resmi tetapi hanya dalam bentuk isyarat secara halus. Penolakan secara resmi dihindarkan untuk tidak menyinggung kehormatan negara pengirim.
Di samping itu, agrément dapat dicabut setelah diberikan dengan syarat bahwa duta besar yang bersngkutan belum tiba di negara penerima. Jika seandainya, duta besar tersebut sudah sampai, negara penrima dapat menyatakan duta besar tersebut persona non grata atau meminta duta besar itu segera pulang. Dalam kasus Letnan Jenderal HBL Mantiri, calon duta Besar Indonesia untuk Australia, keadaanya cukup berbeda. Pemerintah Australia telah memberikan agrément kepada Letjen. Mantiri pada tanggal 31 Mei 1995. Pemerintah Indonesia pada tanggal 6 Juli 1995akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pencalonan pencalonan mantiri tersebut, karena adanya keberatan dari sejumlah anggota parlemen Australia yang didasarkan atas kegiatan Mantiri di masa lalu dalam masalah Timor Timur. Jadi, dalam kasus Letjen. Mantiri ini masalahnya bukan penarikan agrément tetapi keputusan sepihak dari Indonesia untuk tidak melanjutkan penunjukkannya sebagai Duta Besar RI di Australia mengingat tidak kondusifnya suasana setempat.
[1] Lihat Official Records, U.N. Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities, Vienna, 2 Maret-14 April 1961, Vol. 1, U.N. Publication, 1961.
[2] J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Vol. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 566.
[3] Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik, Pasal 2.
[4] Ibid, Pasal 11.
[5] Ibid, Pasal 7 jo. Pasal 10.
[6] Dalam hal negara penerima memberikan perstujuan terhadap seseorang yang disaranlkan untutk diangkat sebagai Duta Besar dari negara pengirim, seseorang itu dikatakan dapat diterima atau Persona Grata, persetujuan itu secara resmi akan disampaikan sebelum pengangkatan orang tersebut diumumkan.
[7] Oppeheim-Lauterpacht, International Law, Vol. I, Longmans Green & Co., 8th, ed., 1960, hlm. 769-770.
[8] Harold Nicholson, Diplomacy, London: Oxford University Press, 2nd, ed., 1950, hlm. 55.
[9] Ibid, Pasal 4 (1).
[10] Ibid, Pasal 7, kini banyak negara telah mengangkat bukan sebagai atase-atase militer, laut, atau udara lain, melainkan sebagai Atase Pertahanan (Defence Attache).
[11] Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik: Teori dan Kasus, Bandung: PT. ALUMNI, 2005, hlm. 110-111.
[12] Lord Gor Booth, Satow’s Guide to Diplomatic Practice, hlm. 94.
[13] Pasal 13.
[14] Washington Post, tanggal 23 April 1988 yang dikutip pula oleh Grant v. Mc Clanahan, Diplomatic Immunity, hlm. 127.
[15] Lord Gore-Booth, Satow’s Guide to Diplomatic Practice, hlm. 89, op.cit., yang dikutip pula oleh G. V. G. Khrisnamurty, Modern Diplomacy, hlm. 123-124.
[16] Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo, op. cit., hlm. 119.
[17] Narider Mehta, International Organizations and Diplomacy, hlm. 43 dan 47.
[18] Pasal 4 (1), konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatic.
[19] Ibid, ayat (2) jo. Pasal 9 (1).

[21] Ceramah di depan generasi Muda Kosgoro oleh Sumaryo Suryokusumo dengan judul Gangguan Terhadap Harga Diri dan Martabat Bangsa ditinjau dari Segi Hukum Internasional, Jakarta, 25 Agustus 1995.
[22] Pasal 2 (7), Piagam PBB.
[23] Statement Perdana Menteri Australia, Paul Keating, di depan Parlemen Australia tanggal 29 Juni 1995.
[24] Jakarta Post, 3 Juli 1995.
[25] Ibid.
[26] Jakarta Post, 4 Juli 1995.
[27] Kompas, Jakarta, 30 Juni 1995.
[28] Op. cit., ,Acara jumpa Pers dengan Menlu Gareth Evans di Melbourne tanggal 6 Juli 1995; yang dikutip Kompas 7 Juli 1995.
[29] Pernyataan Menlu Indonesia, Ali Alatas, di depan pers pada tanggal 6 Juli 1995 di Departemen Luar Negeri.
[30] Denza, Diplomatic Law, hlm. 34 dan 245.
[31] Kompas, Jakarta 7 Juli 1995.
[32] Ibid.

SARASWATI

Saraswati (Sansekerta —sarasvatī) adalah salah satu dari tiga dewi dalam agama Hindu, dua yang lainnya adalah Dewi Sri (Lakhsmi) dan Dewi Uma (Durga). Saraswati adalah sakti dari Dewa Brahma, Dewa Pencipta. Saraswati berasal dari akar kata sr yang berarti mengalir. Dalam Regweda V.75.3, Saraswati juga disebut sebagai Dewi Sungai, disamping Gangga, Yamuna, Susoma dan yang lainnya.
٭ Saraswati dalam agama Hindu
Saraswati adalah dewi yang dipuja dalam agama weda. Nama Saraswati tercantum dalam Rgweda dan juga dalam sastra Purana Ia adalah dewi ilmu pengetahuan dan seni. Saraswati juga dipuja sebagai dewi kebijaksanaan.
Dalam Wedanta, Saraswati di gambarkan sebagai kekuatan feminin dan aspek pengetahuan — shakti — dari Brahman. Sebagaimana pada jaman lampau, ia adalah dewi yang menguasai Ilmu Pengetahuan dan Seni. Para penganut ajaran Wedanta meyakini, dengan menguasai ilmu pengetahuan dan seni, adalah salah satu jalan untuk mencapai moksa, pembebasan dari kelahiran kembali.
٭ Saraswati dan Simbol-simbolnya
Dewi Saraswati digambarkan sebagai sosok wanita cantik, dengan kulit halus dan bersih, — adalah perlambang dari ilmu pengetahuan suci akan memberikan keindahan dalam diri — berpakaian dengan dominasi warna putih, sopan — menunjukan akan pengetahuan suci membawa pada kesahajaan — , duduk atau berdiri diatas bunga teratai, dan juga terdapat angsa yang merupakan wahana atau kendaraan suci dari Dewi Saraswati, yang mana semua itu merupakan simbol dari Kebenaran Sejati, dalam pengarcaan sering juga terdapat merak. Saraswati tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan, tetapi merupakan lambang dari Kebijaksanaan Tertinggi. Dewi Saraswati digambarkan dengan dominasi warna putih yang melambangkan Kemurnian dari Pengetahuan Suci.
Dewi Saraswati digambarkan memiliki empat lengan yang melambangkan empat aspek kepribadian manusia dalam mempelajari ilmu pengetahuan: pikiran, intelektual, waspada (mawas diri) dan ego. Di masing masing lengan, menggenggam:
Lontar (buku), adalah Weda, yang melambangkan universal, abadi, dan pengetahuan sejati, serta sumber ilmu pengetahuan.
Ganitri (Mala, Tasbih, Rosario) melambangkan kekuatan meditasi dan pengetahuan spiritual. Lambang yang juga mengartikan bahwa ilmu pengetahuan itu tidak pernah berakhir sepanjang hidup dan tak akan pernah habis dipelajari.
Wina (kecapi), alat musik yang melambangkan kesempurnaan seni dan ilmu pengetahuan. Selain itu, mencerminkan bahwa ilmu pengetahuan dapat mempengaruhi rasa estetika / keindahan dari manusia.
Damaru (kendang kecil).
Angsa merupakan simbol yang sangat populer yang berkaitan erat dengan Saraswati sebagai wahana (kendaraan suci). Angsa juga melambangkan penguasaan atas Viveka dan Vairagya yang sempurna, memiliki kemampuan mensarikan susu dari lumpur, memilah antara yang baik dan yang buruk. Angsa berenang di air tanpa membasahi bulu-bulunya, yang memiliki makna filosofi, menjalani kehidupan layaknya orang biasa tanpa terbawa arus keduniawian.
Selain angsa, juga sering terdapat merak dalam penggambaran Dewi Saraswati, yang mana adalah simbol dari kesombongan, kebanggaan semu, (merak sesekali waktu mengembangkan bulu-bulunya yang indah namun bukan keindahan yang abadi). Selain itu, terdapat teratai sebagai stana / linggih Hyang Widhi (Dewi Saraswati).
٭ Hari Raya Saraswati
Dewi Saraswati sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan dan Seni, dirayakan oleh umat Hindu di Bali, yang jatuh pada: Saniscara (Sabtu), Umanis (Legi), Watugunung. Perayaan ini dilaksanakan setiap 210 hari, sebagai penghormatan kepada Ibu Ilmu Pengetahuan dan Seni.

Sumber :
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Saraswatihttp://www.id.answers.com

Kerja sama Bilateral Indonesia-Afrika Selatan dalam Sektor Perdagangan dan Ekonomi

Hubungan Indonesia-Afsel sebetulnya telah berlangsung lama saat Indonesia ikut mendukung perjuangan Kongres Nasional Afrika (Africa National Congress[1]-ANC), partai pimpinan Nelson Mandela, untuk menentang apartheid (diskriminasi warga kulit hitam di Afsel).[2] Namun, hubungan keduanya baru resmi saat ditandatanganinya Komunike Bersama Pembukaan Hubungan Diplomatik oleh wakil tetap RI dan Afsel di New York pada 12 Agustus 1994.[3]
Sejak zaman Presiden Soeharto sampai Megawati Soekarnoputri, kunjungan ke Afsel sudah pernah dilakukan. Begitu pun sebaliknya, Mandela setidaknya dua kali dating ke Indonesia, yaitu pada tahun 1997 saat masih menjabat sebagai Presiden Afsel dan tahun 2002 setelah pensiun dari jabatan presiden.[4]
Setelah itu kedua negara berturut-berturut melakukan perjanjian bilateral. Pertama, persetujuan perdagangan (trade agreement) yang ditandatangani oleh masing-masing Menlu pada 30 November 1997 di Cape Town, Afrika Selatan. Kedua, MoU Indonesia dengan Provinsi Kwazalu Natal, Afrika Selatan yang ditandatangani pada Juli 2003 di Afrika Selatan. Ketiga, Komunike Bersama mengenai pendirian Komisi Dagang Bersama (Joint Statement on Establisment of the Joint Trade Commission) antara RI-Afrika Selatan yang ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 19 April 2005 dalam acara plenary meeting (rapat pleno) antara delegasi RI dan delegasi Afrika Selatan pada KTT Asia-Afrika di Jakarta. Mengingat hubungan yang baik tersebut, maka negara kita merasa perlu meningkatkan hubungan yang lebih erat dan konkret lagi dengan kemungkinan membentuk FTA (Free Trade Area) di antara kedua negara.[5]
Pembentukan FTA Indonesia-Afrika Selatan itu di samping untuk peningkatan akses pasar ekspor negara kita ke negara-negara kawasan Afrika Selatan sebagai pintu masuk utamanya, sekaligus mengamankan pangsa pasar barang dan jasa, juga dimaksudkan untuk dapat menghapus hambatan perdagangan dan mempermudah arus barang dan jasa antar kedua negara. Adapun alasan dari pembentukan FTA tersebut di antaranya adalah hapusnya hambatan-hambatan (barriers) di bidang perdagangan dan investasi di antara kedua negara akan lebih cepat. Selain itu, melalui pendekatan pembentukan FTA, akan terlihat pentingnya integrasi ekonomi yang lebih luas dan dalam, melalui kerjasama bilateral. Di samping juga dimaksudkan untuk mengetahui economic wide impact secara umum.[6]
Afrika Selatan adalah sebuah negara maju dengan penduduk yang berpendapatan sederhana. Negara ini kaya dengan bahan tambang terutamanya bahan tambang bernilai tinggi seperti emas, platinum dan berlian. Ia juga mempunyai sistem keuangan, perundangan, telekomunikasi, energi, infrastruktur yang maju dan modern. Bursa sahamnya di Johannesburg begitu aktif hingga pernah berada di urutan ke-10 terbesar di dunia.[7]
Afrika Selatan merupakan sebuah negara yang kaya dengan bahan tambang bernilai seperti emas, platinum dan berlian. Bahan tambang semulajadinya termasuklah emas, kromium, antimoni, arang, biji besi, manganese, nikel, fosfat, biji timah, uranium, berlian, platinum, kuprum, vanadium, garam, gas asli. Sektor industri Afrika Selatan yang sangat maju, dan merupakan ekonomi ke-25 terbesar di dunia. Dengan hanya 7% penduduk dan 4% jumlah kawasan keseluruhan Afrika, Afrika Selatan mengeluarkan lebih sepertiga produk dan jasa di Afrika, dan hampir 40 % pengeluaran industri di Afrika. Bahan komoditas yang diekspor: alat-alat mesin, makanan dan peralatan, bahan kimia, produk petroliam dan peralatan ilmiah.[8]
Berkat perkembangan ekonomi yang positif dan didukung dengan infrastruktur modern serta pengusaan teknologi, pasar Afrika Selatan mempunyai potensi yang cukup besar untuk menyerap peningkatan produk-produk ekspor Indonesia. Ekspansi pasar ke negeri Nelson Mandela ini sangat strategis, mengingat potensi yang dimilikinya cukup besar. Indonesia sangat mungkin meningkatkan nilai ekspornya selain juga menjajaki pembentukan FTA.
Sejak hadirnya pemerintahan demokratis pada tahun 1994, telah muncul kelas ekonomi menengah baru yang inovatif dan konsumtif. Mereka umumnya berusaha di bidang jasa keuangan, konstruksi, properti, perhotelan, telekomunikasi dan bekerja pada perusahaan-perusahaan asing yang mempunyai perwakilan di Afsel. Mereka umumnya tinggal di daerah perkotaan dan memiliki selera dan daya beli yang relatif tinggi. Produk-produk buatan Indonesia sudah mulai dikenal oleh masyarakat namun perlu upaya-upaya yang lebih giat untuk memasarkannya. Beberapa produk Indonesia sudah mulai dikenal karena mutunya yang baik.[9]
Dalam rangka kejuaraan sepak bola dunia 2010, Afrika Selatan tengah giat melakukan berbagai pembangunan infrastruktur, antara lain pembangunan infrastruktur jalanan, stadion sepak bola, perbaikan pelabuhan udara dan laut, penambahan pembangkit energi listrik dan kereta api cepat Gautrain yang menghubungi Johannesburg dengan kota-kota sekelilingnya. Peningkatan pembangunan tersebut diikuti dengan pembangunan dan konstruksi perhotelan, perkantoran dan perumahan oleh pihak swasta. Dikaitkan dengan kejuaraan dunia sepak bola 2010, kebutuhan bahan bangunan dan tenaga kerja terampil serta profesional dirasakan semakin mendesak. Di samping itu, kejuaraan 2010 membuka peluang untuk produk-produk suvenir, alat olahraga, dekorasi dan furnitur hotel-hotel baru.[10]
Produk ekspor Indonesia ke Afrika Selatan yaitu: palm oil, kendaraan bermotor, produk yang terbuat dari plastik, alat mesin elektronik, pulp of wood, produk tekstil, roduk terbuat dari batu, semen dan keramik,suku cadang kategori khusus untuk kendaraan bermotor,aneka produk manufaktur, dan produk kimia.[11]
Nilai perdagangan Indonesia-Afrika Selatan tahun 2006 adalah 4.492 miliar Rand (641 juta USD) atau kenaikan sebesar 16.5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun tersebut, ekspor Indonesia sebesar 3.005 miliar Rand (429 juta USD) atau naik 32.5 persen dibandingkan tahun sebelumnya.[12]
Afsel merupakan salah satu negara di kawasan Afrika bagian selatan yang dikenal memiliki peran penting dalam bidang politik dan ekonomi. Dalam berbagai forum internasional negara ini memberikan pengaruh besar terhadap penentuan strategi kebijakan politik dan ekonomi di kawasan selatan Afrika. Afrika selatan adalah negara ketiga dari 14 negara anggota The Southern Africa Development Community (SADC) yang mempunyai pendapatan perkapita tertinggi di atas 5000 dolar AS setelah Mauritius dan Botswana. Itu sebabnya ia memegang peranan penting dalam perdagangan dunia, termasuk antar kawasan regional dan sub-regional. Bisa dikatakan, Afsel merupakan pintu masuk bagi lalu lintas orang, barang modal dan jasa dari dan ke berbagai kawasan Afrika bagian selatan, sehingga mendorong negara ini memasuki pasar bebas dalam perdagangannya.Yang pasti, kawasan Afrika bagian selatan yang tergabung dalam SADC merupakan kawasan yang potensial bagi produk ekspor Indonesia, karena selain berpenduduk hampir 165 juta jiwa, pasar besar ini belum digarap dengan baik.[13]
Afsel juga tergabung dalam Southern Afrika Customs Union (SACU) yang mendapat perlakuan bebas pajak antara anggotanya, serta COMESA (The Common market for Eastern and Southern Africa). Dengan memasuki pasar Afsel, Indonesia dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang diperoleh Afrika Selatan untuk menerobos pasar negara-negara SACU dan COMESA. Tidak hanya itu, Afrika Selatan yang memiliki fasilitas infrastruktur modern dapat dimanfaatkan Indonesia untuk mendukung distribusi barang ke sentra ekonomi utama di seluruh Afrika Selatan maupun negara-negara tetangganya.[14]
Hal ini sudah terbukti dengan masuknya beberapa produk sabun dari Sinar Ancol dan beberapa produk sabun lain, mislanya sudah merambah ke beberapa negara di Afrika. Bahkan beberapa produk Indonesia mampu meraih pangsa pasar hingga 40 persen, seperti Indofood dengan produk mie instannya, Kedaung Group dengan produk alat-alat dapurnya, dan Sinar Mas dengan produk kertas dan produk plastiknya.[15]
Selain itu, ada peluang khusus lainnyabagi produk-produk Indonesia, yaitu terdapat sekitar 1,5 juta warga negara Afrika Selatan adalah keturunan Indonesia, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Cape Malay. Mereka umumnya tertarik untuk menggunakan produk buatan Indonesia. Kesempatan ini dapat dimanfaatkan melalui Cape Malay untuk show-case produk-produk Indonesia.[16]

▪ Kesimpulan
Dengan terjalinnya kerja sama Indonesia-Afsel sangat menguntungkan pihak Indonesia , terlepas dari konteks apakah memang merugikan Afsel. Pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil dan GDP yang di atas rata-rata negara tetangganya membuat Indonesia semakin yakin untuk memasuki pasar yang tidak hanya di Afsel saja, bahkan bisa merambah masuk ke dalam pasar-pasar di negara afrika lainnya terbukti dengan diminatinya produk-produk Indonesia yang mampu meraih pangsa pasar di Afrika mencapai 40 persen.
Indonesia dengan gencarnya terus melakukan diplomasi perdagangan dan ekonomi untuk melebarkan sayap pasarnya yang tidak hanya di kawasan ASEAN saja, tetapi juga ke benua lainnya. Indonesia tidak mau ketinggalan dengan negara-negara tetangganya yang juga telah memasuki pasar-pasar di negara Afrika, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, ataupun Cina yang berasal dari Asia Selatan.
Upaya pemerintah yang berada pada level negara maupun para pengusaha-pengusaha yang berada pada level bisnis, serta WNI yang berada di Afsel pada level konsumen, ketiganya memiliki peranan yang sangat penting untuk mempromosikan produk-produk Indonesia di Afsel. Oleh karena itu, perlu dijalinnya koordinasi antara ketiganya dan juga terus melakukan lobi kepada pemerintah Afsel untuk terus melakukan kerja sama di sector perdagangan dan ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Koran
DIPLOMASI, No.6 Tahun I, Jakarta: 15 Juni-14 Juli 2008.

Website
http://www.kadin-indonesia.or.id
http://id.wikipedia.org/wiki/Afrika_Selatan
http://www.indag-diy.go.id
http://www.indonesia-pretoria.org.za
[1] Neiny Ratmaningsih, Memahami Sejarah, Jakarta: GANECA, , 2003, hlm. 99.
[2] Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Afrika_Selatan pada 28/06/08, 13.11 WIB.
[3] Diakses dari http://www.indag-diy.go.id pada 07/06/08, 15.45 WIB.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Afrika_Selatan , op.cit.
[5] http://www.indag-diy.go.id , op.cit.
[6] Ibid.
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Afrika_Selatan , op.cit.
[8] Ibid.

[9] Diakses dari http://www.indonesia-pretoria.org.za pada 06/06/08, 15.21 WIB.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] http://www.indag-diy.go.id , op.cit.
[14] Ibid.
[15] DIPLOMASI, No.6 Tahun I, Jakarta: 15 Juni-14 Juli 2008, hlm. 14.
[16] http://www.indonesia-pretoria.org.za , op.cit.