Senin, 25 Agustus 2008

Political Party


Sistem Partai yang cocok di Indonesia ini menurut saya yang lebih cocok adalah sistem dua partai, karena selain menghemat “ongkos”, sistem ini dapat memudahkan bagi masyarakat untuk memilih mana partai yang cocok untuk mengirimkan delegasinya untuk duduk di parlemen. Meskipun Indonesia negara yang berasaskan demokrasi tapi bukan berarti pula dengan mengatasnamakan demokrasi berbagai macam partai dapat muncul ke permukaan seperti jamur yang tumbuh pada musim hujan (itu merupakan analogi dari berbagai artikel yang pernah saya baca). Setiap sistem politik pasti kita akan menemukan sisi positif dan negatifnya. Oleh karena itu, sistem politik yang berlaku di suatu negara harus betul-betul diselaraskan dengan karakter negara masing-masing. Akan tetapi sampai di situ, terkadang sistem politik yang sedang dijalankan masih saja ada hambatan-hambatannya, baik dari golongan masyarakat, parpol, kelompok kepentingan, atau oknum-oknum lain yang ingin menjatuhkan pemerintah yang sedang berkuasa. Untuk menghindari atau pun meminimalisasi hambatan-hambatan ini, saya belum menemukan (membaca untuk mendapatkan jalan keluar) solusinya (mungkin karena masih banyak ketidaktahuan saya tentang hal ini).
Lalu seharusnya demokrasi yang bagaimana yang harus diimplementasikan di Indonesia. Teman saya menjawab,”Kalau kita mengikuti demokrasi yang dilakukan di Amerika itu tidak mungkin, karena Amerika sudah menjalankan sistem demokrasi bertahun-tahun lamanya. Sedangkan Indonesia yang bisa dianggap baru seumur jagung menganut sistem demokrasi masih tertatih-tatih dalam mengikuti perubahan secara revolusi sistem potik yang berlaku dari sistem politik yang dipenuhi dengan gaya diktator berubah menjadi sistem demokrasi (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat)”. Menurut saya, sistem multipartai yang dijalankan di Indonesia boleh-lah diberlakukan, akan tetapi setiap partai yang akan dibentuk seharusnya ditentukan persyaratan-persyaratan bagi suatu partai yang akan mengikuti pemilu. Misalnya saja, harus memiliki supporter sekian persen, kemudian latar belakang dibentuknya partai, kepentingan yang bagaimana yang akan dijadikan modal untuk partai itu agar mendapat suara, dll. Menurut dosen saya,”Seharusnya suatu partai itu berasaskan nasionalis, bukan berasaskan atas kesamaan ras, agama, maupun wilayah”. Pernah saya baca suatu artikel, kolomnya kecil di suatu media massa, saya juga lupa siapa yang mereportasikan, kurang lebih inti dari artikel itu begini: Ada partai (saya lupa namanya) yang terbentuk yang mengangkat isu lingkungan hidup agar mendapat dukungan dari masyarakat. Jika melihat isu yang dia angkat, sudah bagus ada hubungannya dengan masayarakat. Namun, perlu digaris bawahi pula, untuk apa partai itu dibentuk kalau hanya mengangkat isu lingkungan hidup, bagaimana kalau partai itu bertransformasi mungkin menjadi suatu kelompok yang peduli akan masalah-masalah linkungan hidup. Kalau begitu kelompok ini bisa bekerja sama dengan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), bukankah akan lebih menguntungkan bangsa ini pula? Lagi pula kalau kita mengesampingkan akan asas suatu partai itu seharusnya yang nasionalis (general atau umum atau bersifat mencakup sosial, agama, ras, dan budaya), maka kita akan terbentur dengan kpentingan-kepentingan dari kelompok lain, misalnya saja Partai Islam, partai ini identik dengan ”partai orang Islam”, toh kalau pun nanti partai ini yang terpilih untuk mendudukan delegasinya dalam pemerintahan pasti partai ini tentunya dan tidak bisa dihindari akan lebih mementingkan kepentingan golongannya (jarang sejarah parpol yang lebih mendahulukan kepentingan pendukungnya dari pada parpolnya setelah menjabat di parlemen). Negara Indonesia ini terdiri dari banyak macam suku, budaya, agama, dan latar belakang yang berbeda tidak akan mau menjalani keputusan yang timpang (dalam artian penetapan akan suatu keputusan yang diimplementasikan harus disesuaikan dengan kelompok kepentingan dalam hal ini Partai Islam tadi yang menang). Ini dikarenakan asas dari partai itu pada awal pembentukannya adalah kesamaan agama.
Lagi pula sisi negatif lainnya dari sistem multipartai adalah suara-suara yang akan dihasilkan pada saat mengkonversikan masing-masing kepentingan akan terhambat dikarenakan di parlemen, khususnya DPR akan sulit untuk memutuskan suatu kebijakan yang akan diambil. Karena seperti yang kita ketahui, yang duduk di DPR itu merupakan perwakilan dari berbagai parpol. Kemudian pada saat misalnya keputusan si A yang akan diambil, ada protes dari si B karena keputusan yang dibuat tidak sesuai dengan kepentingan parpolnya, belum lagi si C, si D, si E, dan seterusnya. Kalau Indonesia ingin menganut sistem multipartai seharusnya tidak banyak sampai melebihi kapasitas, contohnya saja pemilu tahun kemarin, kalau saya tidak salah ingat ada sekitar 48 partai. Boleh saja kita masih dalam perasaan euforia pascajatuhnya Soeharto, akan tetapi dalam hal ini kita juga jangan sampai melampaui batas. Misalnya partai yang dibentuk lima saja sudah cukup dan berasaskan nasionalis, bukan yang berasaskan SARA. Selain kita bisa menjalankan sistem multipartai, dengan keterwakilan dari lima parpol ini tidak akan mebuat DPR nantinya lama dalam mengambil suatu kebijakan karena suara-suara yang ada tidak terlalu memberatkan seperti yang 48 parpol tadi.
Mengapa di Indonesia ajaran komunis dilarang ? karena itu tidak dengan ideologi Pancasila kita. Hanya itu kah ? Saya rasa perlu ada kajian yang mendalam tentang pertanyaan ini. Apakah kita masih trauma akan kejadian G 30 S ? atau kah memang doktrin-doktrin yang sudah masuk di otak kita selama 32 tahun Soeharto menjabat disusupi dengan pemikiran-pemikiran bahwa PKI pada masa itu adalah musuh yang membahayakan bagi kesatuan NKRI ? lantas cerita mana yang patut kita percayai ? ada pihak lain pula yang mengatakan bahwa Soeharto dan kroni-kroninya-lah yang salah karena kejadian G 30 S ini merupakan rekayasa Soeharto dibantu oleh CIA. Padahal PKI tidak salah. Bisa jadi pula film G 30 S yang wajib ditonton oleh rakyat Indonesia, khususnya pelajar ini diputar selama masa jabatan Soeharto (akan tetapi pada tahun 1996, film ini tidak diputar kembali) untuk memberi kesan kepada masyarakat di Indonesia bahwa PKI adalah musuh negara dan pada waktu itu pula Soeharto yang memberantasnya bersama pasukan-pasukannya. Saya mengatahui hal ini dari internet dan say pun tidak tahu siapa yang sedang bermain di balik ini. Di internet sudah gencar-gencarnya situs yang berisi tentang kebangkitan ”kaum kiri” kemudian buku-buku yang muncul di toko-toko buku juga tidak kalah membldaknya yang berisi tentang Soeharto dan perjalannya atau apa-lah isinya saya belum membacanya. Ada sumber yang mengatakan bahwa buku itu diterbitkan oleh para pakar karena ditujukan untuk memulihkan nama Soeharto. Yang jelas, apa yang saya tulis ini berdasarkan apa yang saya lihat (baca).
Ajaran komunis yang tidak sesuai dengan ideologi bangsa Indonesia ini, mungkin dikarenakan ajaran komunis itu merupakan paham yang tidak ber-Tuhan. Hal ini sangat bertolak belakang sekali dengan ideologi Pancasila kita ayat pertama yang berbunyi:”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bukankah ajaran komunis itu tidak memasukkan unsur agama ke dalam pemerintahan ? kita lihat di Cina, mereka juga memiliki agama. Setiap sistem politik itu jangan dipandang sebelah mata, akan tetapi kita harus benar-benar terbuka dengan hal ini. Sah-sah saja kalau misalnya paham kita komunis dan sah juga kalau paham kita nasionalis atau paham-paham yang lain. Bukankah kita memang diciptakan berbeda-beda oleh Allah. Dan perbedaan itu adalah rahmat, tinggal bagaimana kita harus menyikapi hal ini. Orang yang mengatakan bahwa komunis itu, paham yang sesat mungkin saja ini akibat dari doktrin yang telah didapatnya selama Soeharto menjabat atau orang ini bisa mengatakan hal itu karena dia punya argumen tersendiri. Kalau kita melihat Cina, negara itu berpaham komunis akan tetapi negara itu maju. Amerika yang berpaham demokratis juga maju. Sekarang kembali kepada kita, bagaimana menjalankan paham yang kita yakini sebagai paham yang cocok dengan kepribadian kita dan bisa membuat negara ini maju. Jangan ideologinya saja yang demokratis, tapi implementasinya juga harus demokratis, tidak terbelit-belit dengan kepentingan-kepentingan pihak yang tidak berkepentingan, dan bisa memajukan bangsa Indonesia ini.

Tidak ada komentar: