Rabu, 20 Agustus 2008

Hukum Diplomatik (Kasus Pencalonan LetJen. Herman Bernhard Leopold Mantiri, ex-calon Dubes RI untuk Australia)

▪ Konvensi Wina 1961 Mengenai Hubungan Diplomatik
Setelah berdirinya PBB pada tahun 1945, untuk pertama kalinya, perkembangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah dimulai sejak thaun 1949 secara insentif oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission), khususnya ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik telah digariskan secara rinci. Akhirnya setelah melalui perjalanan panjang selama 12 tahun, konferensi berkuasa penuh (Plenipotentiary Conference) telah diadakan di Wina, Austria pada tanggal 2 Maret-14 April 1961 dan telah mengesahkan suatu konvensi dengan judul “Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik” pada tanggal 18 April 1961.[1]
Pasal 1-19 Konvensi wina 1961 menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik, hak dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan surat-surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan Diplomatik (Duta Besar); Pasal 20-28 mengenai kekbalan dan keistimewaan bagi misi-misi diplomatik termasuk pembebasan berbagai pajak. Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi anggota keluarga para diplomat dan staf lainnya; Pasal 37-47 juga menyangkut kekebalan dan keistimewaan bagi anggota keluarga para diplomat dan staf pelayanan yang bekerja pada mereka. Dan terakhir, Pasal 48-53 berisi berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi, dan mulai berlakunya Konvensi tersebut.

▪ Pengangkatan dan Penerimaan Utusan-utusan Diplomatik
Sarana diplomasi dahulu biasa disertai dengan serangkaian upacara dan ritus, yang sampai tingkat tertentu hal ini masih dipergunakan. Prosedur seremonial, misalnya, pada umumnya diprhatikan sehubungan dengan kedatangan dan keberangkatan utusan-utusan diplomatik.
Pengangkatan seorang individu sebagai Duta Besar atau duta biasanya diberitahukan kepada negara tempat orang itu diakreditasikan dalam bentuk surat-surat resmi tertentu, dengan mana perutusan itu diperlengkapi, yang dikenal sebagai Surat-surat Kepercayaan(Letter of Credence) atau Lettre de Creance. Surat-surat ini adalah untuk remisi kepada negara penerima (Receiving State). Selain surat-surat kepercayaan perutusan tersebut dapat pula membawa serta dokumen-dokumen Kuasa Penuh yang berkaitan dengan negosiasi-negosiasi tertentu atau instruksi-instruksi tertulis khusus lainnya.
Negara-negara dapat menolak untuk menrima utusan-utusan diplomatik: (a) secara umum, atau berkaitan dengan suatu misi negosiasi khusus, atau (b) karena perutusan khusu secara pribadi tidak dapat diterima. Dalam kasus yang disebut terakhir itu negara yang mengajukan penolakan atas utusan itu tidak diharuskan untuk mendasarkan penolakannya pada akreditasi atau tidak harus mencari dasar alasannya (lihat Pasal 4 ayat 2 Konvensi Wina). Sebagai akibatnya, untuk menghindarkan timbulnya konflik, suatu negara ynag hendak mengangkat seseorang sebagai utusannya sebelumnya harus memastikan bahwa orang yang bersangkutan adalah persona grata. Jika persetujuan atau perjanjian kepastian demikian telah diperoleh, maka negara yang telah mengangkat utusan telah aman melakukan pengangkatan resmi utusannya. Walaupun demikian, pada suatu waktu kemudian, negara penerima utusan, tanpa harus menjelaskan keputusannya, dapat memberitahu negara pengirim bahwa utusannya itu persona non grata, dalam kasus ini orang itu harus dipanggil pulang, atau tugasnya diakhiri (Pasal 9 Konvensi Wina).[2]
A. Persona Grata
Saat ini hampir setiap negara memiliki perwakilan diplomatik di negara-negara lain, karena perwakilan ini merupakan cara yang paling baik dalam mengadakan pembicaraan atau perundingan mengenai permasalahan kepentingan nasional masing-masing negara, baik di bidng politik, ekonomi, perdagangan, sosial, budaya, maupun menyangkut kehidupan internasional lainnya.
Jika suatu negara telah menyetujui pembukaan hubungan diplomatik dengan dengan negara lain melalui suatu instrumen atas dasar asas timbal balik (principle reciprocity) dan asas saling menyetujui (principle mutual consent)[3], negara –negara tersebut sudah harus memikirkan pembukaan suatu perwakilan diplomatik dan penyusunan keanggotaan perwakilan tersebut, baik dalam tingkatannya maupun jumlah anggota staf perwakilan yang telah disetujui bersama atas dasar asas yang wajar dan pantas (principle reasonable and normal)[4].
Pengangkatan anggota staf perwakilan diplomatik oleh negara pengirim (sending State) pada umumnya memerlukan persetujuan dari negara penerima (Receiving State), karena negara pengirim dapat secara bebas mengangkatnya dan cukup hanya memberitahukan kepada Kementerian Luar Negeri negara peerima melalui nota diplomatik mengenai nama, kedudukan, pangkat diplomatiknya, anggota keluarganya, dan tanggal kedatangannya.[5] Dikecualikan hanya pada pengangkatan Duta Besar dan Atase Pertahanan yang memerlukan persetujuan terlebih dahulu sebagai orang-orang yang dapat diterima untuk memangku jabatan-jabatan tersebut (persona grata).[6]
Menurut Oppenheim, pengangkatan perwakilan diplomatik ini, hukum internasional tidak menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang supaya dapat diangkat menjadi seorang duta atau konsul, semua persyaratan ditentukan sendiri oleh tiap-tiap negara.[7] Namun, menurut Sir Harold Nicholson, dalam bukunya “Diplomacy” menyebutkan bahwa seorang diplomat harus memenuhi syarat sebagai berikut:[8]
Kejujuran (truthfulness),
Ketelitian (precision),
Ketenangan (calm),
Temperamen yang baik (good temper),
Kesabaran dan kesederhanaan (patience and modesty),
Kesetiaan (loyalty).
Pengangkatan seorang Duta Besar di suatu negara penerima oleh negara pengirim terlebih dahulu harus dimintakan persetujuan (agrément) dari negara penerima.[9] Untuk memperoleh agrément semacam itu, negara pengirim harus menyatakan terlebih dahulu dengan disertai hal ikhwal yang berkaitan dengan latar belakang calon Duta Besar (curriculum vitae) yang memang diperlukan oleh negara penerima untuk mempertimbangkan dalam memberikan agrément atau dinyatakan sebagai persona grata. Negara pengirim haruslah memperoleh kepastian bahwa agrément dari negara penerima telah diberikan kepada seseorang yang telah dicalonkan sebagai Duta Besar di negara tersebut. Jawaban mengenai pemberian agrément tersebut dari negara penerima dapat disampaikan secara tertulis atau secara lisan, atau mungkin mengalami penundaan yang begtiu lama yang pada hakikatnya dapat diartikan secara diam-diam dimintakan penggantinya yang lain. Sedangkan pengangkatan atase-atase militer, laut, dan udara, oleh negara pegirim haruslah terlebih dahulu dimajukan nama-namanya untuk memperoleh persetujuan atau dinyatakan dapat diterima (persona grata) oleh negara penerima.[10]
Setelah melalui prosedur untuk memilih dan mengangkat seorang Duta Besar di negara lain, Kementerian Luar Negeri haruslah menempuh berbagai formalitas yang sudah diterima secara internasional, antara lain seperti permintaan agreation atau agrément dari negara penerima, dan setelah memperoleh agrément tersebut perlu pemrerintahnya (Kepala Negara atau Pemerintah) mengeluarkan Surat-surat Kepercayaan (Letters of Credence atau Lettre de Creance atau Credentials) dan mengirimkan Duta Besarnya ke negara penerima. Walaupun dalam mengangkat Duta Besar, suatu negara mempunyai hak yang melekat, negara penerima juga mempunyai hak yang sama, yaitu untuk tidak menerima calon Duta Besar yang telah dipilih oleh negara pengirim tersebut. Guna menghindari timbulnya hal-hal tersebut yang dapat mengganggu atau mempengaruhi hubungan antara negara yang sudah dirintis dengan baik, sering dilakukan pendekatan terlebih dahulu dengan negara penerima kemungkinannya calon Duta Besar dari negara pengirim dapat diterima.[11]
Setelah memperoleh agrément, Duta Besar yang lama dengan membawa surat-surat kepercayaan (Credentials) yang harus disampaikan kepada Kepala Negara negara penerima. Akan sangat bijaksana bagi seorang Duta Besar baru untuk memastikan bahwa surat penarikan Duta Besar yang lama (letter of recall) telah disampaikan dalam situasi yang layak atau jika formalitas itu belum dilakukan, Duta Besar baru tersebut akan membawanya serta. Dalam beberapa hal dapat pula terjadi bahwa pada waktu tiba di posnya yang baru, dan meminta waktu untuk menyerahkan surat-surat kepercayaannya, ia memperoleh jawaban bahwa Duta Besar yang digantikannya belum functus officio, karena itu pengakuan Duta Besar yang baru dapat mengalami penundaan sampai dokumen yang diperlukan dapat diperoleh dari negara pengirim.[12]
Pada waktu kedatangan Duta Besar yang baru di ibukota negara penerima, secara resmi harus segera memberitahukan kepada Menteri Luar Negeri, dan meminta waktu yang tepat untuk menerimanya. Ia juga meminta kepada Menteri Luar Negari agar dapat bertemu dengan Kepala Negara untuk dapat menyerahkan surat-surat keprcayaan, sedangkan salinan surat-surat kepercayaan tersbut harus pula diserahkan kepada Menteri Luar Negeri negara penerima, salinan ini dikenal sebagai copie figure atau di London biasa disebut copie d’usage. Dokumen ini tidak memerlukan tanda tangan, tetapi baik bahsa maupun kata-katanya harus sama dengan aslinya dengan diketik, difoto kopi, dicetak, atau ditulis tangan. Suatu terjemahan tentunya sangat berguna, khusus jika aslinya dituliskan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh negara penerima, tetapi hal itu bukan menggantikan salinan tersebut.[13]
Penyerahan salinan surat-surat kepercayaan kepada Menteri Luar Negeri itu sangat dianggap penting karena akan dapat menandai mulainya Duta Besar baru berfungsi. Seperti juga dinyatakan dalam Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik[14], bahwa:

“Kepala Perwakilan dianggap telah memulai tugasnya di negara penerima pada saat ia telah menyerahkan surat-surat kepercayaannya atau setelah ia memberitahukan kedatangannya dan telah menyerahkan sabuah salinan dari surat-surat kepercayaan aslinya kepada Menteri Luar Negeri negara penerima….”

B. Persona non Grata
Jika negara pengirim tetap dengan pendiriannya untuk mengangkat seseorang yang tidak dapat diterima oleh negara penerima, hal itu bukan saja akan dapat merugikan sendiri terhadap maksud dan tujuan yang akan dicapai, tetapi juga dapat menciptakan situasi yang bisa mempengaruhi hubungan baik kedua negara tersebut. Di satu pihak, jika negara penerima menyatakan penerimaan terhadap pengangkatan seseorang calon Duta Besar (Ambassador Designate) dari negara pengirim, hal itu dinyatakan sebagai persona grata. Di lain pihak, jika negara penerima menganggap bahwa seseorang itu tidak dapat diterima karena kegiatan-kegiatan dan kecenderungan di amsa lampau atau latar belakang lainnya, negara penerima dapat memberitahukan kepada negara pengirim ketidaksetujuannya untuk menerima pengangkatan Ambassador Designate melalui sebuah nota diplomatik yang menyatakan calon tersebut sebagai persona non grata.
Setiap negara mempunyai hak menolak untuk menerima seorang pejabat diplomatik, apakah atas dasar sifat pribadinya atau latar belakang sebelumnya, misalnya jika ia dikenal pernah menanamkan rasa sentiment yang bernada kebencian atau permusuhan terhadap negara tempat ia akan daingkat sebagai Kepala Perwakilan dari perwakilan diplomatik. Karena itu, ia dapat dinyatakan ditolak karena sifatnya terhadap negara tempat ia akan diangkat, atau dalam bahasa Latin dinyatakan dengan jelas sebagai ex eo ob quod mittitur,[15] suatu ungkapan diplomatik bagi negara penerima untuk tidak menerimanya atau seperti dijelaskan dai atas sebagai deklarasi persona non grata.
Penolakan agrément bagi seorang calon Duta Besar oleh negara penerima tidak perlu diberikan alasan apapun, sebaliknya negara pengirim juga tidak perlu untuk menanyakan alasan penolakan untuk memberikan agrément tersebut. Pasal 4 ayat I Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik khusu memberikan kewajiban bagi negara penerima ntuk tidak memberikan alasan bagi penolakan persetujuan atau agrément tersebut. Sedangkan dalam Pasal 9 ayat 1 lebih luas lagi pengertiannya bukan saja penolakan itu ditujukan kepada calon Duta Besar tetapi juga kepada seseorang anggota staf diplomatik termasuk anggota staf lainnya dari sesuatu perwakilan diplomatik. Dalam kasus seperti ini, negara pengirim berkewajiban menarik kembali orang yang bersangkutan ke negaranya atau mengehntikan tugasnya di perwakilan tersebut. Ketentuan dalam Pasal 9 ayat 1 ini mempunyai hakikat bahwa deklarasi persona non grata itu dapat dinyatakan baik sebelum maupun setelah tiba di wilayah negara penerima.[16]
Penolakan untuk menerima seorang calon Duta Besar atau pejabat diplomatik dari negara pengirim dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
(i) Jika calon tersebut dianggap dapat mengganggu hak kedaulatan negara di mana ia akan diakreditasikan, karena sikap pribadinya juga yang disangsikan; seperti halnya dalam kasus Duke of Buckingham, sebagai calon Duta Besar Inggris di Perancis ditolak oleh Pemrintah Perancis, ia terbukti “sangat menjengkelkan” (proved obnoxious) terhadap Pemerintah Perancis, karena dianggap telah mencintai Ratu Perancis selama kunjungannya di Paris sebelumnya.
(ii) Jika menunjukkan rasa permusuhan (hostile act) baik terhadap rakyat maupun lembaga di negara tempat ia akan diakreditasikan; dalam kasus Mr. Keiley, calon Duta Besar Amerika serikat di Italia pada tahun 1885 tempat ia telah ditolak oleh Pemerintah Italia karena pada tahun 1881, ia memprotes aneksasi Papal State oelh Italia. Dan tatkala Pemerintah amerika Serikat mengangkatnya ke Austria sebagai Duta Besar juga kemudian ditolaknya karena ternyata istrinya seorang Yahudi.
(iii) Jika ia menjadi pokok persoalan di negara penerima dan negara akreditasi tersebut tidak mau memberikan kepada calon tersebut kekebalan-kekebalan sebagai calon Duta Besar.[17]

C. Penolakan calon Duta Besar secara eksepsional
Jika pemerintah suatu negara pengirim telah memutuskan secara sementara untuk mengangkat Duta Besarnya ke suatu negara penerima, negara pengirim harus segera menyampaikan kepada negara penerima, nama calon Duta Besar itu yang biasanya harus disertai dengan riwayat hidupnya secara lengkap (curriculum vitae) untuk memperoleh persetujuan dari negara penerima (agrément). Hal ini sesuai pula dengan ketentuan dalam Konvensi Mina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik bahwa negara pengirim harus yakin persetujuan dari negara penerima telah diberikan kepada orang yang diusulkan sebagai Duta Besar negaranya :

“The sending State must make certain that the agreement of the receiving State has been given for the person it proposes to accredit as head of the mission to that State”.[18]

Namun setiap negara mempunyai hak untuk menolak calon siapapun, apakah hal itu didasari oleh sifat pribadinya ataupun mungkin latar belakang sebelumnya. Misalnya, jika ia terbukti telah menanamkan rasa permusuhan atau kebencian terhadap negara dimana calon Duta Besar itu atau ditempatkan, maka negara penerima bisa saja menolak untuk menerima calon tersebut sebagai Duta Besar. Penolakan semacam itu bagi negara penerima tidak diwajibkan untuk memberikan alasan kepada negara pengirim.

“The receiving State is not obliged to give reasons to the sending State for a refusal of agreement”.[19]

Penolakan seseorang calon Duta Besar di suatu negara memang banyak kasusnya. Penolakan itu dapat dinyatakan bukan saja sebelum memperoleh agrément tetapi dapat pula terjadi setelah memperoleh agrément. Bahkan calon Duta Besar yang telah memperoleh agrément dan telah sampai di negara penerima dan telah siap untuk menyerahkan surat-surat kepercayaannya dapat pula mengalami kegagalan karena adanya peninjauan kembali atau pertimbangan kembali terhadap agrément yang telah diberikan oleh negara penerima.
Bahkan dewasa ini dimana kondisionalitas-kondisionalitas politik dapat dikenakan terhadap suatu negara seperti kondisi hak azasi, kondisi lingkungan, kondisi demokrasi di suatu negara dapat pula menjadi pertimbangan untuk penolakan seorang calon Duta Besar di suatu negara. Dengan demikian, sering menjadi pertanyaan apakah suatu negara dapat mempermasalahkan kondisi hak-hak azasi negara lain yang pada hakekatnya dapat dianggap sebagai campur tangan suatu negara terhadap urusan dalam negeri negara lain.
Sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur tentang hubungan kerja sama antar negara, maka semua negara berkewajiban untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Prinsip ini perlu dihormati dalam rangka menciptakan kehidupan bersama semua negara secara damai.
Adanya campur tangan dalam bentuk apapun pada hakekatnya bukan saja merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum internasional tetapi juga dapat menciptakan situasi yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Lebih jauh prinsip non-intervensi semacam itu telah dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Deklarasi PBB mengenai prinsip-prinsip hukum internasional mengenai hubungan bersahabat dan kerja sama di antara negara sejalan dengan piagam PBB yang antara lain disebutkan bahwa :

“No State or group of States has the right to intervene, directly or indirectly, for any reason whatever, in the internal or external affairs for any other State”.[20]
Oleh karena itu, campur tangan di dalam bentuk apapun seperti pengenaan kondisionalitas-kondisionalitas tersebut hanyalah merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum internasional yang sudah diterima oleh masyarakat internasional. Kedaulatan suatu negara mempunyai makna bukan saja kemampuan sepenuhnya untuk bertindak tetapi juga sebagai personalitas internasional yang mempunyai kapasitas untuk bertindak secara hukum. Negara-negara dapat melakukan tindakan apa saja yang dirasakan sesuai dan tidak melanggar hukum internasional, dengan pengertian bahwa tindakan itu bukanlah merupakan campur tangan terhadap hak negara lain.[21]
Masalah campur tangan ini dapat dilakukan hanya dalam hal penggunaan sanksi Dewan Keamanan atas dasar Bab VII Piagam PBB :

“Tidak ada ketentuan apapun dalam Piagam PBB yang memberi kuasa pada PBB untuk mencampuri urusan-urusan yang pada hakekatnya merupakan masalah dalam negeri suatu negara…. Akan tetapi, prinsip ini tidak mengurangi kemungkinan bagi PBB untuk melakukan campur tangan dalam hal pengenaan sanksi seperti tercantum dalam bab VII Piagam.” [22]

Penolakan untuk menerima saeorang calon Duta Besar dengan pertimbangan kondisionalitas politik seperti “Kondisi hak-hak azasi manusia di suatu negara” terjadi dalam kasus pencalonan Duta Besar Indonesia untuk Australia yaitu Letnan Jenderal HBL Mantiri. Walaupun agrément telah diberikan Australia kepadanya, namun akhirnya ditentang oleh kalangan Parlemen Australia karena kaitannya dengan “Peristiwa 12 November 1991 di Dili” yang dinilai merupakan pelanggaran hak-hak azasi manusia sehingga mengakibatkan pembatalan pencalonan tersebut oleh Indonesia.
Sekitar bulan Maret 1995, pemerintah Indonesia telah mencalonkan Letnan Jenderal HBL Mantiri sebagai Duta Besar RI untuk Australia dan untuk itu telah diminatkan agrément dari pemerintah Australia. Atas permintaan ini pemerintah Australia pada tanggal 31 Mei 1995 secara resmi telah memberikan persetujuannya dengan memberikan agrément kepada Letnan Jenderal Mantiri. Persetujuan pemerintah Australia itu telah dipertegas lagi pada tanggal 29 Juni 1995 oleh Perdana Menteri Australia Paul Keating di Parlemen Australia dengan menegaskan bahwa pemerintahannya tidak melihat situasi apapun dimana harus menolak pencalonan HBL Mantiri :

“There are no circumstances that I can see where we would or should reject a nomination by the President”. “It is the right of every government to choose its own ambassador and propose the candidate to the government of the country where the candidate is to be posted”. “Such a candidate, is seldom rejected except in the most extraordinary circumstances”.[23]

Sebaiknya di dalam Parlemen tersebut sekelompok anggota yang terdiri dari tujuh belas anggota yang mewakili baik golongan pemerintah maupun golongan oposisi telah menyatakan keberatan mereka atas pencalonan Letnan Jenderal Mantiri tersebut sebagai Duta Besar baru Indonesia di Canberra untuk menggantikan yang lama. Seperti diketauhi Letnan Jenderal Mantiri adalah bekas Panglima Daerah Militer yang meliputi pula propinsi Timor Timur, pada waktu “Peristiwa Dili 12 November 1991” terjadi dimana mengakibatkan sejumlah korban yang meninggal dalam peristiwa itu, yang diperkirakan sekitar 50 sampai 100 orang.[24] Walaupun sebenarnya secara pribadi ia tidak terlibat secara langsung dalam peristiwa tersebut, Jenderal Mantiri sebagai Panglima Militer tetap dianggap bertanggung jawab untuk wilayah Timor Timur, yang pada waktu itu oleh kelompok-kelompok hak azasi manusia memang dianggap bertanggung jawab terhadap pembunuhan tersebut.[25]
Persoalan lain yang dipermasalahkan adalah adanya wawancara majalah Editor di Jakarta pada Jenderal Mantiri pada tahun 1992 yang lalu, dimana ia mengatakan bahwa terjadinya bentrokan antara pengunjuk rasa dengan Pasukan Pengamanan yang memakan korban lebih dari 50 orang di Dili setahun sebelumnya dianggap sebagai “hal sangat wajar”.[26]
Wawancara tersebut mengundang reaksi pro dan kontra di Australia. Dalam wawancara itu, Mantiri mengatakan “Kita tidak menyesalkan apa-apa. Apa yang terjadi sudah semestinya … mereka menentang kita, berdemonstrasi, sampai meneriakkan yel-yel anti pemerintah. Untuk saya, ini sama dengan pemberontakan, karena ini kita mengambil tindakan yang tegas”.[27]
Mengenai wawancara ini Menteri Luar Negeri Gareth Evans menjelaskan, sebaiknya Letnan Jendral Mantiri memberikan penjelasan mengenai wawancaranya tersebut setibanya di Australia. Pemerintah Federal Australia samgat menyayangkan komentar Mantiri. “Masyarakat Australia sulit menerima pengangkatan tersebut karena Letnan Jenderal Mantiri sendiri menolak untuk mengambil suatu langkah lagi berupa permintaan maaf atas kata-katanya yang diterbitkan di majalah Editor tahun1992. Pemerintah Australia sebenarnya sudah menyuarakan keberatan tersebut sejak beberapa bulan sebelumnya ketika nama Mantiri muncul sebagai calon Duta Besar untuk Australia, dimana kemudian kami menyuarakan keprihatinan yang telah kami sampaikan sebelumnya”.[28]
Dalam menanggapi sikap Australia semacam itu, Menteri Luar Negeri Indonesia, Ali Alatas, mengumumkan tentang Keputusan Pemerintah Indonesia mengenai Pengangkatan Letnan Jenderal Mantiri sebagai Duta Besar RI untuk Australia sehubungan dengan kehebohan masalah tersebut yang menimbulkan provokasi terhadap negara tetangganya :

“Pemerintah Indonesia memutuskan tidak melanjutkan mencalonan HBL Mantiri, dan pos Duta Besar di Canbera untuk sementara dikosongkan” Pemerintah tidak sudi membiarkan Mantiri dijadikan sasaran suatu kampanye politik, berupa unjuk rasa dan lain-lain tindakan yang dapat berupa penghinaan”.[29]

Dari “Kasus Mantiri” tersebut baik dari ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1961 maupun prinsip-prinsip hukum diplomatik dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 (1) jo. Pasal 9 (1) Konvensi Wina 1961 bahwa Pengangkatan seorang calon Duta Besar, sebelumnya haruslah memperoleh agrement terlebih dahulu dari negara penerima. Namun merupakan hak dari negara penerima untuk menyatakan penolakan (persona non grata) pengangkatan itu tanpa menjelaskan alasan-alasan penolakan tersebut dan hal itu dapat dilakukan bahkan sebelum calon itu tiba di negara akreditasi.
Pencalonan Letnan Jenderal HBL Mantiri sebagai Duta Besar RI untuk Australia telah diajukan oleh pemerintah Indonesia kepada pemerintah Australia untuk memperoleh agrément. Ternyata pemerintah Australia tidak mempunyai keberatan sama sekali, ini terbukti dari agrément bagi calon Duta Besar Mantiri yang secara resmi telah disampaikan oleh pemerintah Australia kepada pemerintah RI pada tanggal 31 Mei 1995.
Keberatan-keberatan yang muncul khususnya di kalangan anggota parlemen Australia merupakan perkembangan baru yang timbul setelah pemerintah Australia memberikan agrément-nya. Walaupun hal itu merupakan pertentangan intern antara pemerintah dan Parlemen Australia, hal itu tidak dapat dihindarkan dampaknya bagi keputusan pemerintah Australia yang telah diambil untuk menyetujui pencalonan Duta Besar Mantiri.
Dalam suatu monograf yang di tulis oleh Eileen Denaz pada tahun 1976, mengenai konvensi diplomatik, ia mempermasalahkan apa yang akan terjadi seandainya negara penerima setelah mempelajari pengangkatan seorang Pejabat Diplomatik di suatu misi di ibukota negaranya, tiba-tiba harus menolak untuk menerima pencalonan tersebut dan menyatakan sebagai “persona non grata”. Jika calon tersebut telah sampai di negara penerima, apakah ia masih berhak menikmati kekebalan diplomatik sampai berakhirnya waktu yang layak untuk keberangkatannya dari negara penerima? Negara penerima mungkin dapat berprasangka bahwa ia dapat memanfaatkan kekebalan dan keistimewaan yang diberikan itu disalahgunakan. Misalnya saja ia mungkin sebagai “seorang yang terlibat tindak perdata atau pidana yang cukup serius”. Denza menyimpulkan bahwa cara yang paling baik dalam suatu kasus semacam itu bagi negara penerima tidak ada cara lain kecuali untuk “menjelaskan situasinya kepada negara pengirim dan memintanya agar memperlakukan baik pengangkatan maupun pemberitahuan itu sebagai hal yang tidak pernah terjadi”. Namun, jika negara pengirim menolaknya, negara penerima dapat menjelaskan bahwa situasinya adalah tidak “normal” jika “negara penerima pada waktu menerima pemberitahuan mengenai pengangkatan segera menolak untuk menerimanya”.[30]
Penolakan calon Duta Besar RI ke Australia Letnan Jenderal Mantiri secara tidak langsung, yang berkembang setelah agrément diterimanya, merupakan hal yang sangat eksepsional yang pada hakekatnya bagi Australia sebagai negara penerima sukar untuk mempertimbangkan kembali persetujuannya yang telah diberikan kepada Letnan Jenderal Mantiri tersebut. Reaksi-reaksi di parlemen yang cukup tajam menentang percalonan tersebut dapat merupakan “penolakan secara tidak langsung dan terselubung” (indirect and facit persona non grata) yang merupakan kenyataan yang harus dikaji kembali dan dipertimbangkan oleh Indonesia sebagai negara pengirim. Karena itu, kemudian pemerintah Indonesia memutuskan membatalkan pencalonan Letnan Jendral Mantiri sebagai Duta Besar RI ke Australia pada tanggal 6 Juli 1995 dan untuk sementara pos Duta Besar RI di Canberra dikosongkan. Pemerintah Australia menyambut baik keputusan tersebut dan menganggap hal itu sebagai langkah terbaik bagi kelangsungan hubungan Indonesia-Ausrtalia.[31]
Sebagaimana dinyatakan juga oleh Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans bahwa betapa keputusan pemerintah Indonesia itu sungguh-sungguh sesuatu yang menolong karena menguntungkan semua pihak. “Penyelesaian itu tidak mudah dicapai, tetapi akhirnya Australia tidak usah mencabut persetujuan yang telah diberikannya”.[32]
Banyak juga dilontarkan pertanyaan apakah pengosongan itu tidak berlaku lama, ataukah sebagai reaksi terhadap Australia, sementara pos Duta Besar di Canberra dikosongkan dan tingkatan Kepala Perwakilan di Kedutaan Besar RI di Canberra hanya tingkat Kuasa Usaha saja?
Kebiasaan di dalam pergaulan diplomatik antarnegara memang sering terjadi baik untuk mengosongkan pos Duta Besar atau menurunkan tingkat Kepala Perwakilan dari Duta Besar menjadi tingkat jabatan yang lebih rendah. Tingkatan semacam ini pada hakekatnya merupakan pencerminan rasa tidak puas, kekecewaan, serta perasaan lainnya dari pemerintah negara pengirim atas tindakan, sikap atau kebijaksanaan negara penerima yang kurang dapat diterima atau disetujui oleh negara pengirim, sikap mana diambil dengan selalu mempertimbangkan intensitas dan tingkat hubungan bilateral negara-negara tersebut.
Dalam “Kasus Mantiri” tersebut pemerintah Indonesia juga telah mengosongkan pos Duta Besar dan membiarkannya di bawah seorang Kuasa Usaha a.i (Ad interim) yang berpangkat Minister (Duta).

▪ KESIMPULAN
Dari seluruh penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengangkatan seorang duta besar biasanya dilakukan atas dan nama kepala negara. Calon-calon duta besar diajukan untuk mendapatkan persetujuannya. Cara pemilihan calon-calon tidak selalu sama tergantung dari sistem dan praktek yang berlaku di suatu negara. Dapat terjadi pemilihan calon ditentukan oleh kabinet atau hanya oleh kementerian luar negeri saja setelah memperhatikan berbagai faktor. Di Amerika Serikat pengangkatan seorang duta besar harus mendapatkan persetujuan dari Senat.
Bila pengangkatan seorang calon duta besar telah diputuskan, namanya segera diajukan kepada pemerintah negara penerima (receiving state) melalui kedutaan besar negara pengirim untuk mendapatkan agrément. Permintaan agérment kepada pemerintahan suatu negara dilakukan secara konfidensial mengingat kemungkinan ditolaknya calon yang diajukan.
Negara penerima berhak menolak seorang calon apakah didasarkan atas perilaku atau kebijakan profesionalnya di masa lalu. Dapat terjadi bahwa seorang calon duta besar mempunyai sikap dan pandangan yang tidk bersahabat terhadap negara penerima dan dalam hal ini pencalonannya dapat ditolak. Demikian juga halnya bila calon tersebut terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang anti negara setempat. Jika calon duta besar tersebut ditolak oleh negara penerima, maka negara penerima tidak berkewajiban untuk memberikan alasan mengenai penolakan tersebut (seperti tercantum dalam Pasal 4 ayat 2 Konvensi Wina). Biasanya penolakan itu bukan dalam bentuk komunikasi resmi tetapi hanya dalam bentuk isyarat secara halus. Penolakan secara resmi dihindarkan untuk tidak menyinggung kehormatan negara pengirim.
Di samping itu, agrément dapat dicabut setelah diberikan dengan syarat bahwa duta besar yang bersngkutan belum tiba di negara penerima. Jika seandainya, duta besar tersebut sudah sampai, negara penrima dapat menyatakan duta besar tersebut persona non grata atau meminta duta besar itu segera pulang. Dalam kasus Letnan Jenderal HBL Mantiri, calon duta Besar Indonesia untuk Australia, keadaanya cukup berbeda. Pemerintah Australia telah memberikan agrément kepada Letjen. Mantiri pada tanggal 31 Mei 1995. Pemerintah Indonesia pada tanggal 6 Juli 1995akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pencalonan pencalonan mantiri tersebut, karena adanya keberatan dari sejumlah anggota parlemen Australia yang didasarkan atas kegiatan Mantiri di masa lalu dalam masalah Timor Timur. Jadi, dalam kasus Letjen. Mantiri ini masalahnya bukan penarikan agrément tetapi keputusan sepihak dari Indonesia untuk tidak melanjutkan penunjukkannya sebagai Duta Besar RI di Australia mengingat tidak kondusifnya suasana setempat.
[1] Lihat Official Records, U.N. Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities, Vienna, 2 Maret-14 April 1961, Vol. 1, U.N. Publication, 1961.
[2] J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Vol. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 566.
[3] Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik, Pasal 2.
[4] Ibid, Pasal 11.
[5] Ibid, Pasal 7 jo. Pasal 10.
[6] Dalam hal negara penerima memberikan perstujuan terhadap seseorang yang disaranlkan untutk diangkat sebagai Duta Besar dari negara pengirim, seseorang itu dikatakan dapat diterima atau Persona Grata, persetujuan itu secara resmi akan disampaikan sebelum pengangkatan orang tersebut diumumkan.
[7] Oppeheim-Lauterpacht, International Law, Vol. I, Longmans Green & Co., 8th, ed., 1960, hlm. 769-770.
[8] Harold Nicholson, Diplomacy, London: Oxford University Press, 2nd, ed., 1950, hlm. 55.
[9] Ibid, Pasal 4 (1).
[10] Ibid, Pasal 7, kini banyak negara telah mengangkat bukan sebagai atase-atase militer, laut, atau udara lain, melainkan sebagai Atase Pertahanan (Defence Attache).
[11] Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik: Teori dan Kasus, Bandung: PT. ALUMNI, 2005, hlm. 110-111.
[12] Lord Gor Booth, Satow’s Guide to Diplomatic Practice, hlm. 94.
[13] Pasal 13.
[14] Washington Post, tanggal 23 April 1988 yang dikutip pula oleh Grant v. Mc Clanahan, Diplomatic Immunity, hlm. 127.
[15] Lord Gore-Booth, Satow’s Guide to Diplomatic Practice, hlm. 89, op.cit., yang dikutip pula oleh G. V. G. Khrisnamurty, Modern Diplomacy, hlm. 123-124.
[16] Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo, op. cit., hlm. 119.
[17] Narider Mehta, International Organizations and Diplomacy, hlm. 43 dan 47.
[18] Pasal 4 (1), konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatic.
[19] Ibid, ayat (2) jo. Pasal 9 (1).

[21] Ceramah di depan generasi Muda Kosgoro oleh Sumaryo Suryokusumo dengan judul Gangguan Terhadap Harga Diri dan Martabat Bangsa ditinjau dari Segi Hukum Internasional, Jakarta, 25 Agustus 1995.
[22] Pasal 2 (7), Piagam PBB.
[23] Statement Perdana Menteri Australia, Paul Keating, di depan Parlemen Australia tanggal 29 Juni 1995.
[24] Jakarta Post, 3 Juli 1995.
[25] Ibid.
[26] Jakarta Post, 4 Juli 1995.
[27] Kompas, Jakarta, 30 Juni 1995.
[28] Op. cit., ,Acara jumpa Pers dengan Menlu Gareth Evans di Melbourne tanggal 6 Juli 1995; yang dikutip Kompas 7 Juli 1995.
[29] Pernyataan Menlu Indonesia, Ali Alatas, di depan pers pada tanggal 6 Juli 1995 di Departemen Luar Negeri.
[30] Denza, Diplomatic Law, hlm. 34 dan 245.
[31] Kompas, Jakarta 7 Juli 1995.
[32] Ibid.

Tidak ada komentar: